Diskon PPnBM 100 Persen Bentuk Inkonsistensi Pemerintah

Bisnis.com,22 Sep 2021, 09:08 WIB
Penulis: Rahmi Yati
Angkutan Jak Lingko dan Bus Transjakarta merupakan transportasi publik yang disediakan Pemprov DKI untuk warganya. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat transportasi sekaligus Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menilai kebijakan pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah.

Menurutnya, dengan adanya stimulus ini, artinya pemerintah mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan pribadi tanpa melihat dampak jangka panjang yang ditimbulkan seperti kemacetan, polusi udara, hingga naiknya penggunaan bahan bakar minyak (BBM).

"Itu menunjukkan pemerintah tidak konsisten kebijakannya. Kelihatan sekali bahwa pemerintah lebih mendorong pada pengembangan sektor industri otomotif. Ketika industri otomotif mengalami kelesuan pasar, diciptakanlah stimulus berupa keringanan pajak tapi tidak melihat dampaknya," ungkap Darmaningtyas kepada Bisnis, Selasa (21/9/2021).

Dia menyebut boleh saja masyarakat membeli kendaraan bermotor pribadi tapi harus diimbangi dengan regulasi yang fair. Jangan sampai dengan adanya keringanan pajak, jumlah kepemilikan kendaraan meningkat tapi disaat yang sama, masyarakat juga yang akan menanggung dampaknya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno. Menurutnya, kalau pemerintah sudah berkomitmen untuk memajukan angkutan umum massal sampai ke daerah tentunya harus dibarengi dengan kebijakan lainnya yang turut membantu.

"Bukan malah nanti merepotkan daerah juga. Jangan membuat kebijakan yang nantinya kepala daerah pusing. Di satu sisi kementeriannya menawarkan angkutan umum disisi lain menawarkan angkutan pribadi. Kepala daerah ini nanti yang pusing," imbuhnya.

Lebih lanjut dia menilai pemberian insentif PPnBM hingga akhir 2021 yang mencapai 100 persen untuk mobil penumpang dengan kapasitas mesin sampai 1.500 cc ini dapat menghambat keberhasilan program pengadaan bus bersubsidi dengan skema Buy The Service (BTS) dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Pasalnya, di satu sisi Kemenhub menggalakkan program BTS dengan harapan semakin banyak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Di sisi lain, Kemenkeu mendorong pembelian kendaraan pribadi dengan menawarkan insentif PPnBM tersebut.

"Kebijakan ini bertolak belakang dan dapat menghambat keberhasilan program BTS," sebutnya.

Namun begitu, dia mengakui bahwa membeli kendaraan adalah hak semua orang. Dengan demikian dampak dari kedua kebijakan ini nantinya akan bergantung pada bagaimana respons pemerintah daerah.

Terlebih, sambungnya, saat ini masalah kemacetan masih belum teratasi maksimal terutama di kota-kota besar. Pun dengan semakin buruknya dampak polusi udara terhadap kesehatan lingkungan.

"Kita nggak bisa melarang masyarakat membeli kendaraan tapi harus dikaji apakah nanti kendaraan ini diperbolehkan berada di jalan umum atau tidak. Jalan umum bukan milik pribadi atau perorangan sehingga sekarang tergantung pada kepala daerahnya apakah mau memperpanjang macet atau nggak," pungkas Djoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini