Sertifikasi ISPO Dipandang Rendah oleh Pasar Internasional, Ini Alasannya

Bisnis.com,22 Sep 2021, 14:34 WIB
Penulis: Reni Lestari
Dua orang petani meninjau perkebunan sawit milik mereka yang sudah berumur tua untuk mengikuti program 'replanting' di Desa Kota Tengah, Dolok Masihul, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Senin (27/11). Program replanting atau peremajaan sawit rakyat ini menjadi bukti dukungan pemerintah terhadap sektor kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian petani sawit. ANTARA FOTO/Septianda Perdana

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan dunia usaha terus mendorong capaian sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi semua tipe perkebunan, baik milik negara, rakyat dan swasta.

Namun demikian, harus diakui bahwa selama 10 tahun pelaksanaannya sejak 2011, pengakuan atau keberterimaan pasar internasional terhadap instrumen sertifikasi ini masih rendah.

"Keberterimaan internasional masih belum signifikan. Di [forum] global kami selalu sampaikan, kami punya ISPO baru, kalau ada yang tidak yakin, berikan kritikan kepada kami," kata Musdhalifah Machmud, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, dalam webinar, Rabu (22/9/2021).

Dalam kesempatan yang sama, Achmad Mangga Barani, Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategi Berkelanjutan (FP2SB) mengatakan masalah utamanya adalah integrasi yang belum terjalin dari hulu hingga hilir. Pasalnya, ISPO yang saat ini diterapkan baru menyentuh sisi hulu yakni perkebunan.

Berbeda halnya dengan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) yang lebih bisa diterima pasar global. Adapun ISPO industri hilir masih digodok oleh pemerintah.

"Keberterimaan kita masih lambat, salah satu di antaranya karena belum menyatu hulu dan hilir," kata Mangga.

Dia mengatakan ketentuan ISPO yang berlaku di Komite Akreditasi Nasional (KAN) terdiri dari tiga skema, yakni produksi atau perkebunan, pabrik, dan integrasi. Sehingga perlu ditambah sertifikasi di sisi rantai pasok dan hilir.

Senada, Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan penguatan ISPO menjadi isu yang perlu dibenahi. Dari dialog yang dilakukan dengan duta besar negara mitra di Indonesia, Joko mengatakan ISPO dinilai telah berprogres meski belum lengkap.

"Salah satu concern dari Uni Eropa adalah [penguatan dan pelaksanaan di tingkat] smallholder. Kita harus terus mempercepat hal ini," kata Joko.

Diketahui, penerapan ISPO telah mencapai satu dekade pada tahun ini dan pertama kali diundangkan pada Permentan No.11/2011. Dalam kurun waktu empat tahun pelaksanaan peraturan tersebut, hanya 127 perusahaan yang mendapatkan ISPO dari total 763. Sementara itu, belum ada kelompok petani atau koperasi yang mendapatkan ISPO pada periode tersebut.

Selanjutnya, pada periode kedua, pemerintah menerbitkan Permentan No. 11/2015 yang kemudian berhasil menggerakkan capaian menjadi 494 sertifikat, terdiri atas 480 perusahaan, 4 koperasi unit desa (KUD), dan 10 koperasi. Adapun aturan teranyar tertuang dalam Permentan No.38/2020. Satu tahun terakhir sejak beleid baru itu terbit, ada 139 sertifikat ISPO yang dikeluarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rio Sandy Pradana
Terkini