Bisnis.com, JAKARTA - Industri pembiayaan (multifinance) bakal terdampak signifikan apabila industri jasa keuangan nantinya tak lagi mendapat pengecualian dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Sekadar informasi, jasa pembiayaan termasuk salah satu yang dikecualikan dalam UU PPN. Namun, direncanakan terkena perluasan pada Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkap pihaknya memahami langkah pemerintah untuk memitigasi kecurangan atau penghindaran pajak, namun setidaknya ada tiga isu yang bakal memberatkan industri jasa keuangan apabila RUU KUP tetap tidak direvisi.
"Setelah mengkaji dampak yang bisa ditimbulkan aturan ini dibantu Tax Center UI, akhirnya AFPI memutuskan secara resmi mengajukan keberatan lewat Komisi XI DPR RI," ujarnya dalam diskusi bersama para pelaku industri, dikutip Rabu (29/9/2021).
Tiga isu yang menjadi sorotan AFPI, yaitu berkaitan tidak adanya pengecualian PPN, pengenaan alternative minimum tax, dan pajak terhadap natura atau benefit in kind.
Terkait pengenaan PPN terhadap jasa keuangan, Suwandi mengungkap sangat sedikit contoh negara yang menerapkan hal ini, karena mempertimbangkan multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat.
"Karena pada prinsipnya multifinance memfasilitasi para debitur untuk berusaha, berdagang, atau bekerja yang kemudian baru ketika mereka membeli sesuatu, di situlah baru ada unsur PPN," jelasnya.
Sekadar informasi, dari total pembeli kendaraan bermotor, sekitar 70 persen pembeli mobil dan sekitar 90 persen pembeli motor masih membutuhkan fasilitas kredit dari multifinance sebagai metode pembelian.
Alhasil, PPN yang nantinya turut dikenakan ke konsumen, dikhawatirkan membawa discourage dalam berusaha. Terlebih, debitur multifinance kebanyakan perorangan dan bukan pengusaha kena pajak (PKP) yang berada di level menengah.
Adapun, terkait alternative minimum tax yang diharapkan mencegah suatu perusahaan melakukan kerugian artifisial untuk menghindari pajak, Suwandi mengungkap rasanya hal ini tidak terlalu relevan dengan lembaga jasa keuangan yang diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Industri pembiayaan memiliki aturan main yang jelas, dan tentu kami takut kalau kinerja keuangan tidak perform, apalagi merugi. Karena bisa berdampak nantinya perusahaan tidak bisa mendapat pinjaman dari bank. Jadi kami sangat berhati-hati," ujarnya.
Adapun, berkaitan benefit in kind, AFPI berharap apabila memungkinkan agar industri jasa keuangan mendapat pengecualian karena berpotensi membawa administrasi yang makin kompleks.
Pasalnya, industri jasa keuangan memiliki beban kewajiban seperti training cost atau perjalanan dinas bagi karyawan yang rutin digelar untuk meningkatkan kapasitas, sehingga akan memberatkan dan membawa kerumitan apabila ikut dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani sepakat agar asosiasi di sektor jasa keuangan menyuarakan pendapatnya, karena jangan sampai RUU KUP justru kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi.
"Karena takutnya daya beli yang sudah mulai membaik akan turun kembali. Maka, perlu sekali dari asosiasi memberikan masukan, supaya kebijakannya bisa ditinjau, jangan sampai akhirnya membuat masyarakat itu tidak melakukan transaksi pembiayaan karena kebijakan perpajakan. Menurut saya yang paling penting sekarang ini justru mengejar mereka yang belum bayar pajak," jelasnya.
Adapun, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mengungkap bahwa RUU KUP yang tak lagi mengecualikan jasa keuangan, mencerminkan bahwa kebijakan pemerintah masih terlalu fiscal-minded.
"Ada rencana jasa keuangan termasuk perbankan dan jasa asuransi dikenakan PPN. Apakah pada saat dirumuskan ini menjadi RUU mereka sudah dimintai pandangan? Saya melihatnya belum ada sinergi," ungkapnya ketika dikonfirmasi Bisnis.
Terlebih, apabila RUU KUP benar disahkan dan peraturan di bawahnya mengandalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), bukan Peraturan Pemerintah (PP), akan mencerminkan ketidakstabilan pengambilan keputusan politik yang akhirnya membawa penurunan pada sovereign credit rating Indonesia di pasar keuangan global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel