Ada dua tujuan mulia hadirnya industri peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman online (pinjol) di Indonesia. Pertama, membantu masyarakat/UMKM yang unbankable untuk mendapatkan pendanaan. Kedua, kontribusi pada inklusi keuangan.
Banyak UMKM ingin mendapatkan tambahan modal untuk pengembangan usaha. Namun, tak berdaya dengan persyaratan yang tidak mampu dipenuhi untuk mendapatkan kredit. Akhirnya pengembangan usahanya seret.
Kesenjangan pendanaan di Indonesia sangat besar. Data World Bank menyebut kesenjangan sebesar US$165 miliar. Industri-industri yang menyediakan pendanaan tak mampu memenuhi kebutuhan pendanaan.
Industri P2P lending menjadi alternatif dengan menawarkan syarat lebih mudah dan proses lebih cepat. Problem lain adalah dari sisi inklusi. Tingkat akses masyarakat kepada produk/layanan jasa keuangan pada 2019 sebesar 76,18%. Pemerintah menargetkan 90% orang dewasa menikmati produk/layanan keuangan pada 2024.
Industri P2P lending mampu menjangkau masyarakat tanpa harus menghadirkan kantor secara fisik. Transaksi melalui internet memudahkan jangkauannya ke masyarakat. Sejak akhir 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengawasi industri tersebut.
Hingga akhir Agustus lalu, akumulasi penyaluran dana sebesar Rp294,49 triliun. Nilai pendanaan yang masih berjalan (outstanding) Rp26,10 triliun atau naik 115,10% YoY. Jumlah rekening pengguna mencapai 69,26 juta. Data ini menunjukkan penerimaan industri pinjol oleh publik sangat baik.
Pasar menggiurkan bisnis pinjol telah memancing pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan mendirikan bisnis pinjol ilegal tanpa tanpa memperoleh izin regulator (OJK). Transaksi pinjol ilegal memiliki ciri utama antara lain bunga sangat tinggi, perjanjian yang tidak jelas, dan sebagian dioperasikan dari luar negeri. Juga menyalahgunakan data pribadi secara vulgar dan penagihan kasar (sering disertai intimidasi/ancaman). Pinjol ilegal menawarkan kemudahan tetapi dibaliknya akan muncul kesusahan.
Pinjol ilegal menjadi penumpang gelap yang menggerogoti kepercayaan publik di industri P2P lending. Mulai ada stigma bahwa pinjol itu buruk. Padahal data-data industri di atas menunjukkan banyak UMKM dan publik telah menikmati manfaat industri baru ini.
Yang berperilaku buruk adalah pinjol ilegal. Publik belum sepenuhnya paham ada platform pinjol legal dan ilegal. Juga belum tahu penyebab keresahan publik dan siapa yang memiliki kewenangan untuk menertibkan pelaku ilegal tersebut.
Jumlah platform legal di bawah OJK sebanyak 107 perusahaan (per 8 September 2021). Sedangkan pelaku ilegal yang telah ditutup oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) sebanyak 3.365 situs dan aplikasi pinjol ilegal. SWI telah banyak melakukan upaya preventif dan pemberantasan pinjol ilegal.
Pinjol ilegal tidak di bawah kewenangan OJK. Namun OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yang merupakan kumpulan penyelenggara P2P lending, mendukung penuh upaya pemberantasan pinjol ilegal.
OJK, Bank Indonesia, Polri, Kemkominfo, dan Kemenkop UKM telah menandatangani pernyataan bersama pada 20 Agustus 2021 untuk menguatkan pemberantasan pinjol ilegal. Ada tiga inti dari komitmen tersebut, yakni upaya pencegahan, penanganan pengaduan, dan penegakan hukum.
Penguatan pencegahan dilakukan di antaranya dengan meningkatkan program edukasi dan komunikasi aktif kepada publik untuk mengenalkan manfaat dan risiko dalam bertransaksi dengan pinjol. Lebih khusus lagi mewaspadai pinjol ilegal dan hati-hati dalam menjaga data pribadi.
Upaya preventif juga dilakukan dengan melarang perbankan, penyedia jasa pembayaran nonbank, aggregator, dan koperasi bekerja sama atau memfasilitasi pinjol ilegal. Mereka juga wajib mematuhi prinsip know your customer sesuai dengan ketentuan.
Adapun peningkatan layanan pengaduan masyarakat dilakukan masing-masing kementerian/lembaga (sesuai kewenangannya) dan/atau melaporkan kepada Polri untuk dilakukan proses hukum. Penegakan hukum terhadap pelaku pinjol ilegal harus memberikan efek jera. Menghapus stigma pinjol perlu dukungan lebih besar dari berbagai pihak. Pinjol ilegal harus dijadikan musuh bersama.
Dukungan dan upaya ekstra dapat dilakukan setidaknya pada tiga area. Pertama, menerbitkan undang-undang (UU) yang di dalamnya memuat pasal-pasal terkait teknologi finansial. Memasukkan P2P lending di dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan menjadi salah satu alternatif.
Saat ini belum ada ketentuan level UU yang dapat menjerat pidana pelaku pinjol tanpa izin. Hal ini berbeda dengan industri perbankan atau asuransi yang telah memiliki UU sendiri.
Kedua, penyelenggara pinjol legal di bawah OJK harus mampu meningkatkan kontribusi dan layanannya kepada publik. Ada tuntutan bagi OJK untuk terus tegas pada platform P2P lending legal yang melanggar ketentuan, khususnya terkait dengan perlindungan konsumen.
Ketiga, pengelolaan risiko reputasi yang efektif. Dalam lima tahun terakhir, industri P2P lending (legal) telah memberi manfaat pada UMKM. Berbagai pemberitaan negatif tentang pinjol ilegal jangan sampai membuat publik takut bertransaksi dengan platform pinjol legal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel