Bisnis.com, JAKARTA - Transaksi rights issue bank dengan kode saham BBRI yang mencapai nilai Rp95,9 triliun pada penutupan terakhir perdagangan saham tanpa HMETD (Ex Right) di pasar tunai 10 September 2021 tersebut, sebanyak Rp27,9 triliun di antaranya merupakan pembelian dari pemegang saham asing.
Beberapa pengamat ekonomi menilai bahwa right issue Bank BRI tersebut merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi ketiga di kawasan Asia hanya kalah dari Bank of China dengan nilai Rp124,6 triliun dan Reliance mencapai Rp102 triliun.
Disadari atau tidak, dengan adanya pembelian saham oleh asing tersebut merupakan pengakuan dunia internasional dan menjadi sentimen positif bagi dunia usaha khususnya pelaku usaha mikro kecil di Indonesia yang telah dibuktikan dengan right issue bank-nya wong cilik tersebut.
Sektor riil yang didominasi oleh pelaku usaha mikro dan kecil yang perlahan tapi pasti berupaya bangkit dari keterpurukan imbas pandemi Covid-19, dinilai mampu membuka mata internasional akan eksistensi dan toughness pengusaha wong cilik Indonesia.
Sunarso selaku Direktur Utama BRI menjelaskan bahwa perseroan optimistis mampu meningkatkan penyaluran kredit ultra mikro sebesar 14 persen per tahun dengan kesuksesan right issue ini, di mana BRI memerlukan sumber pertumbuhan baru ke depan yakni segmen ultra mikro, sehingga dapat tumbuh berkelanjutan dan memberikan kontribusi positif bagi pemangku kepentingan, tak terkecuali pelaku usaha ultra mikro dan UMKM. Keberhasilan ini sekaligus merupakan cerminan dunia luar masih percaya akan prospek ekonomi Indonesia saat ini dan masa mendatang.
Upaya yang telah dilakukan banknya wong cilik tersebut tentu saja tidak terlepas dari rencana Pemerintah melalui Kementerian BUMN membentuk Holding Ultra Mikro yang menggabungkan BRI dengan Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM) dengan BRI selaku induk holding.
Hal ini selaras dengan visi Pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 sampai 2024, yakni mendorong terciptanya inklusi keuangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan inklusi keuangan baru mencapai 76,6% pada akhir 2019, sementara Pemerintah menargetkan inklusi keuangan nasional bisa meningkat menjadi 90% pada 2024.
Menarik untuk kita cermati bersama bahwa di samping adanya berbagai kebijakan stimulus yang dikeluarkan Pemerintah untuk membantu pelaku usaha mikro kecil bangkit dari pandemi Covid-19 yang tengah melanda, dan keberhasilan right issue BRI sebagai banknya wong cilik yang telah diakui oleh dunia internasional, berbagai kendala masih saja dihadapi oleh pelaku usaha mikro kecil di dalam keberlangsungan usahanya.
Bahkan ironisnya dari data yang disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen bahwa dengan pemberlakuan dan perpanjangan PPKM, membuat 50% dari 64,2 juta atau sekitar 32,1 juta pelaku usaha mikro kecil menutup usahanya. Hal ini juga senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun yang menuturkan bahwa 30 juta UMKM bangkrut khususnya usaha mikro selama pandemi.
Kendala sektor UMKM
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, masih terdapat berbagai kendala yang dirasakan oleh pelaku usaha mikro kecil di dalam keberlangsungan usahanya yang mengerucut pada tiga masalah utama, yakni kekurangan akses informasi untuk kebutuhan modal/pendanaan, kemampuan pengembangan sumber daya manusia yang terbatas, dan kesulitan mencari wilayah pemasaran atau pangsa pasar.
Pemerintah melalui berbagai kementerian yang terkait langsung dengan pelaku UMKM, yakni Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan, telah melakukan berbagai upaya dan terobosan bahkan memberikan berbagai stimulus untuk dapat membantu pelaku UMKM khususnya usaha mikro kecil guna mereduksi berbagai kendala tersebut sekaligus menciptakan peluang bisnis.
Namun, sekali lagi sejarah kita telah membuktikan bahwa adanya berbagai krisis ekonomi yang pernah melanda negeri ini, sektor usaha mikro kecil yang paling mampu bertahan di tengah keterbatasan yang ada. Peran serta seluruh pemangku kebijakan bahkan kepedulian sesama anak bangsa diyakini sanggup membantu pelaku usaha mikro kecil untuk meningkatkan usahanya.
Betapa indah bila gotong royong sesama anak bangsa, yang kuat menolong yang lemah, yang besar menopang yang kecil, niscaya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud.
Keberadaan pelaku UMKM khususnya usaha mikro kecil jangan hanya menjadi ‘komoditas’ bagi kalangan tertentu. Namun, dengan dapat membuktikan dirinya mampu dan keberhasilan right issue banknya wong cilik tersebut, secara tidak langsung memberikan legitimasi bahwa pelaku usaha mikro kecil tetap diperhitungkan dan menolak dilusi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel