Bisnis.com, JAKARTA - Emiten bank dengan kapitalisasi terbesar, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) berkomitmen menjadi perusahaan terbuka yang sehat dan tetap memberikan profit para investornya dengan membagikan dividen.
Presiden Direktur Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja mengungkapkan sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2000, harga sahamnya sudah meningkat berkali-kali lipat. Harga penawaran di Rp1.400, dengan stock split 4 kali, harganya tetap berkisar di level Rp7.500.
"Sekarang kalau kita mau lebih mengenal saham-saham mana yang top notes di bursa salah satu indikator mulai dari market cap, atau kapitalisasi pasar. Dengan harga Rp7.500, market cap BBCA sudah mencapai lebih dari Rp900 triliun," urainya, dikutip Sabtu (16/10/2021).
Pada saat harganya sempat mencapai 8.250 pasca stock split, kapitalisasi pasar BBCA sempat menyentuh Rp1.000 triliun. Dengan kapitalisasi pasar berkisar Rp900 triliun, dibagi dengan kurs rupiah terhadap dolar AS Rp14.200, kapitalisasi pasar BBCA berkisar US$63--US$65 miliar.
"Kalau ala unicorn, ini sudah setara 6 decacorn, satu decacorn itu sudah US$10 miliar. Ini sudah US$63 miliar lebih, artinya sudah 6 decacorn lebih, dan di Jakarta Stock Exchange, BBCA itu market cap tertinggi dan terbesar," katanya.
Lebih lanjut, dia bercerita mengenai para investor besar, seperti investor institusi, fund manager, investor asing, biasanya sudah menjadi suatu kelaziman harus memegang saham-saham dengan kapitalisasi pasar besar.
Alasannya, karena performa saham-saham kapitalisasi pasar besar itu diukur dengan naik turunnya indeks komposit atau indeks harga saham gabungan (IHSG).
Pasalnya, ketika para fund manager atau investor kakap ini tidak mengoleksi saham-saham big market cap, maka performa mereka bisa underperform ketika saham-saham kapitalisasi besar ini naik.
"Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka mereka itu harus kudu mesti investasi di saham-saham big market, apalagi yang market cap terbesar. Nah, sehingga semua fund manager biasanya memiliki portofolio itu dan ini menyebabkan bahwa saham yang big market cap itu lebih favorit," paparnya.
Dia mencontohkan ketika di Amerika Serikat (AS) The Fed akan melakukan tapering sejak November hingga tahun depan, atau kemungkinan perang dagang AS dan China, serta harga-harga komoditas meningkat tinggi juga kemungkinan gelombang ketiga Covid-19 akan menjadi sentimen negatif bagi indeks.
"Itu tidak akan terhindarkan seluruh saham akan turun, termasuk yang market cap besar itu akan turun. Namun, begitu kondisi normal, yang paling cepat naik itu yang market cap besar, karena mereka takut kalau saya tunggu lama-lama ketinggalan kereta istilahnya," urainya.
Sementara itu, bos BBCA tersebut mengungkapkan stock split BBCA menjadi kesempatan bagi para investor ritel dan millenials yang ingin mengoleksi saham kapitalisasi besar dengan harga yang terjangkau.
"Kalau ditanya kapan saat yang tepat, kalau koreksi secara industri kapan kita tidak tahu, jadi yang paling benar, kalau Anda punya katakanlah simpanan uang dingin di pasar misalkan 100 gitu ya Rp100.000, Rp100 juta, nah mungkin 10 persennya secara rutin menabung saham, berapapun harganya dikoleksi, karena untuk jangka panjang, saham-saham big market itu pasti secara perlahan slowly but sure naik," ungkapnya.
Di samping harga saham, perusahaan besar yang terdaftar di publik biasanya bagi dividen, ada yang setahun dua kali ada pula yang setahun sekali, berupa dividen interim dan final dividen.
Tjahja menerangkan di BBCA dividen interim biasa dibagikan pada November atau Desember, sementara dividen final dibagikan pada April atau Mei. Hal inilah, terangnya, yang menjadi kesukaan investor asing, selain dapat untung dari capital gain, tetapi juga dari dividen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel