Bisnis.com, JAKARTA -- Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merekomendasikan implementasi skema multipilar dalam penyelenggaraan jaminan sosial sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pengalihan program layanan PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Anggota DJSN Indra Budi Sumantoro mengatakan, terdapat dua opsi kebijakan dalam menindaklanjuti putusan MK. Pertama, skema fragmentasi atau segmentasi. Artinya, penyelenggaraan jaminan sosial untuk pekerja swasta, aparatur sipil negara (ASN), serta anggota TNI/Polri dilakukan secara terpisah.
Kedua, skema multi pilar di mana Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan manfaat dasar diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan program kesejahteraan pegawai atau manfaat karyawan diselenggarakan oleh Taspen dan Asabri.
Dari kedua opsi tersebut, DJSN merekomendasikan untuk menggunakan skema multipilar. Dalam skema multipilar, Taspen dan Asabri didorong menjadi penyelenggara top up benefit, seperti halnya penyelenggara dana pensiun yang ada di perusahaan swasta.
"Dalam konteks ini, Taspen dan Asabri tetap jadi BUMN, tapi tidak boleh menyelenggarakan program jaminan sosial. Dia harus selenggarakan program top up. ASN dan anggota TNI/Polri wajib ikut sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, kalau opsi multipilar ini yang dipilih," ujar Indra kepada Bisnis, Senin (1/11/2021).
Regulasi untuk melaksanakan alternatif skema multi pilar dapat diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana Pasal 91 ayat (6), Pasal 92 ayat (4), dan Pasal 107 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP) diatur lebih lanjut dalam PP. Opsi lainnya dapat diatur dalam ketentuan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Sementara itu, bila opsi fragmentasi yang digunakan, badan hukum Taspen dan Asabri harus diubah dari BUMN menjadi badan hukum publik dalam bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibentuk dengan undang-undang.
Di sisi lain, opsi fragmentasi dinilai tidak dapat memenuhi prinsip portabilitas kepesertaan program jaminan sosial dan berpotensi menghambat mobilitas pekerja dari sektor swasta ke sektor pemerintahan atau sebaliknya, serta mengurangi minat pekerja sektor swasta berpindah ke sektor pemerintahan. Indra menuturkan, mobilitas pekerja dari sektor swasta ke sektor pemerintahan sangat dibutuhkan di era digital guna meningkatkan knowledge sharing dari sektor swasta ke sektor pemerintahan.
"Ada konsekuensi logis terkait migrasi pekerja. Misal, kalau saya kerja di swasta ikut program JKN dan lima program BPJS Ketenagakerjaan, lalu saya melamar jadi ASN, saya kehilangan satu program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang tidak diberikan kepada pekerja sektor pemerintahan. Ini kalau opsi yang dipilih skema fragmentasi," jelas Indra.
Indra menuturkan, DJSN telah menyampaikan opsi-opsi kebijakan tersebut kepada seluruh kementerian/lembaga terkait, termasuk BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, serta Taspen dan Asabri. Dalam waktu dekat DJSN akan mengumpulkan kementerian/lembaga terkait untuk bersama-sama membahas langkah tindak lanjut putusan MK. DJSN berharap nantinya opsi multipilar yang dapat dipilih.
"Kami rekomendasikan yang multipilar. Apalagi sekarang kompetisi antara Taspen dan BPJS Ketenagakerjaan dalam memperebutkan kepesertaan pegawai pemerintahan cukup tinggi, sehingga ketika Taspen ditetapkan sebagai BPJS, kompetisi tambah sengit dan itu tidak baik. Kalau multipilar insya Allah harmonis," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel