Bisnis.com, JAKARTA - Federal Reserve (Fed) mengumumkan akan mengurangi quantitative easing (QE) secara bertahap atau tapering mulai akhir November ini. Jika kondisi ekonomi membaik ke depannya, The Fed mengatakan akan terus melakukan pengurangan aset setiap bulannya dan bisa jadi mengakhiri pembelian obligasi pada pertengahan 2022.
Berdasarkan hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) November 2021, tapering akan dimulai dengan memotong laju pembelian aset bulanan sebesar US$10 miliar untuk surat berharga, dan US$5 miliar untuk jaminan berbasis mortgage atau agency mortgage-backed security (agency MBS). Pengurangan dengan laju yang sama akan diumumkan pada pertengahan Desember 2021.
Namun, bank sentral Amerika Serikat (AS) itu tetap menahan Federal Fund Rate (FFR) di level hampir mencapai 0 persen. Bank sentral menyampaikan bahwa pengurangan pembelian obligasi tidak memberikan sinyal langsung terkait dengan kenaikan FFR.
Mandiri Research Group, dalam kajiannya, sebelumnya menyampaikan bahwa normalisasi kebijakan moneter AS tidak akan memiliki dampak sebesar taper tantrum pada 2013 yang lalu. Menurut kajian tersebut, ada dua alasan utama terkait dengan hal tersebut.
"Pertama, The Fed kini melakukan komunikasi yang lebih jelas terkait dengan rencana kebijakannya. Kedua, kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini berbeda jika dibandingkan dengan kondisi 2013," demikian dikutip dari kajian yang diterima Bisnis, Rabu (3/11/2021).
Pada 2013, Indonesia mengalami kondisi overheating. Current Account Deficit (CAD) melebar menjadi -3,2 persen dari PDB 2013. Lalu, inflasi mencapai 8,1 persen dan meningkatnya pertumbuhan utang sebesar 21,6 persen.
Hal ini berbeda dengan kondisi ekonomi Indonesia tahun ini, meskipun masih dalam masa pemulihan akibat pandemi Covid-19. Kajian tersebut memperkirakan neraca transaksi akan surplus tahun ini, dengan asumsi surplus neraca dagang tercatat US$3 miliar rata-rata per bulannya, serta defisit kecil APBN sebesar -2 sampai dengan -2,5 persen pada 2022.
Senada, kebijakan tapering pada akhir 2021 ini juga sebelumnya sudah diprediksi oleh Bank Indonesia (BI). Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyampaikan bahwa pihaknya telah memperkirakan adanya tapering pada akhir tahun dan kemungkinan diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan atau FFR.
Gubernur BI ke-16 ini menegaskan bahwa tapering yang terjadi tahun ini akan berbeda dengan taper tantrum yang terjadi pada April-Mei 2013 silam. Pada saat itu, komunikasi yang dilakukan dengan tiba-tiba memicu kenaikan FFR dan US Treasury secara pesat dalam waktu yang singkat.
"Pada Mei 2013, US Treasury pernah naik ke 3,5 persen dalam tempo [waktu] kurang lebih 1-2 bulan sejak Chairman Fed mengumumkan tapering," ujar Perry pada konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Oktober lalu.
Namun, perbedaannya dengan saat ini, The Fed sudah sejak lama mengomunikasikan rencana kebijakan tapering dan kenaikan FFR. Selain itu, The Fed turut menyampaikan kaidah atau indikator dari dua hal tersebut yaitu tingkat inflasi fundamental dan tingkat pengangguran di AS. Hal tersebut kata Perry, selalu dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada pasar.
"Oleh karena itu, bisa kita lihat US Treasury memang ada peningkatan tapi tidak serta merta. Ke depan, juga kemungkinan ada peningkatan. Kalau kita lihat forward rate dari US Treasury bisa naik ke 2,2-2,5 persen di 2023. Tapi kenaikannya secara gradual [bertahap]," terang Perry.
Sampai saat ini, Perry mengklaim bahwa aliran investasi portofolio asing ke Indonesia masih terus berlangsung. Hal itu terjadi sejalan dengan kuatnya isu tapering dan kenaikan FFR oleh The Fed selama beberapa waktu terakhir.
Terkait dengan respons terhadap normalisasi kebijakan moneter AS itu, Perry mengatakan telah bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar rupiah dan yield atau imbal hasil SBN.
Konsistensi dalam melakukan respons tersebut bersama dengan otoritas fiskal, serta komunikasi yang baik dari The Fed, bisa membuat Indonesia mampu menahan atau meminimalisasi dampak potensial yang timbul akibat tapering.
Selain respons dan komunikasi yang baik, Perry mengatakan kondisi makroprudensial Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi taper tantrum delapan tahun yang lalu. Misalnya, Current Account Deficit (CAD) Indonesia saat ini diperkirakan akan lebih rendah dari posisi 2020 yaitu 0-0,8 persen.
Lalu, posisi cadangan devisa Indonesia juga jauh lebih tinggi, di antaranya didorong oleh fasilitas Hak Penarikan Khusus dari IMF senilai setara dengan Rp90,2 triliun. Terakhir, posisi cadangan devisa Indonesia September 2021 naik menjadi US$146,9 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel