Harga Nikel Kadar Rendah dan Cobalt Perlu Diatur

Bisnis.com,11 Nov 2021, 14:42 WIB
Penulis: Rayful Mudassir
Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/5/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk mengatur ketentuan harga nikel kadar rendah dan produk cobalt. 

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan selama ini nikel kadar rendah mulai permintaan dari industri pengolahan. Akan tetapi penetapan harga untuk nikel kadar tersebut belum diatur. 

Penetapan ini diperlukan untuk menghindari kerugian yang dialami oleh penambang. Selama ini, perusahaan tambang hanya mengikuti penawaran harga yang diberikan oleh industri pengolahan. 

“Sudah ada permintaan bijih nikel kadar rendah, diatur dong harganya. Diatur tata niaga domestik untuk bijih nikel kadar rendah sehingga tidak lagi permintaan [harga nikel] ini suka-suka,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/10/2021). 

Selain itu, APNI juga meminta adanya pengaturan harga cobalt. Komoditas ini merupakan turunan dari bijih nikel. Cobalt juga digunakan sebagai salah satu komponen baterai kendaraan. 

Selama ini harga cobalt sekitar tiga kali lipat daripada harga nikel. Di pasar global, cobalt dihargai US$59.500 per ton, sementara nikel berada di harga US$19.880 per ton. Komoditas ini terus mengalami lonjakan sejak awal 2021 seiring tingginya permintaan di pasar dunia. 

“Dalam pelaksanaanya selama ini hanya dihargai cuma kandungan nikelnya. Seharusnya pemerintah memikirkan ini, kan ada potensi penerimaan negara,” terangnya. 

Lebih lanjut, nikel dinilai menjadi salah satu sumber daya masa depan dengan cadangan melimpah di Indonesia. Sebab itu, pemerintah diminta untuk menghitung secara detail kemampuan sektor hulu dan hilir sehingga terjadi keseimbangan pengelolaan nikel. 

Sebelumnya, APNI juga mengeluhkan harga pembelian nikel dari industri smelter tidak sesuai dengan harga patokan mineral yang ditetapkan pemerintah. Alhasil penambang mengalami penurunan keuntungan. 

Asosiasi juga meminta jasa survei untuk melakukan satu metode bersama agar tidak menghasilkan kajian berbeda baik saat di perusahaan tambang maupun setiba di industri pengolahan. Analisa berbeda ini berpotensi memberikan kerugian kepada penambang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini