Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan indikasi bahwa praktik pinjaman online (pinjol) ilegal merupakan hasil dari sindikat dan disinyalir mendapat suntikan modal dari hasil kejahatan.
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Upaya Deteksi, Cegah, dan Berantas Pinjaman Online Ilegal secara online dan offline dari Pusdiklat Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorime di Depok, Jawa Barat, Senin (22/11/2021).
Deputi Pencegahan PPATK, Muhammad Sigit menjelaskan bahwa FGD ini merupakan langkah strategis dalam menindaklanjuti arahan Presiden RI Joko Widodo yang sempat menyoroti praktik pinjol ilegal yang menipu dan menjerat masyarakat.
Presiden juga mendorong tata kelola penyediaan jasa pinjaman online berlangsung dengan baik, sehingga percepatan pertumbuhan industri pinjaman online di Indonesia tidak diikuti dengan banyaknya penipuan dan tindak kejahatan yang merugikan masyarakat.
Berdasarkan pengamatan PPATK, kebanyakan oknum pelaku pinjol ilegal tampak menggunakan skema ponzi dan berkomplot untuk menjerat korban yang terikat di salah satu platform pinjol ilegal.
Artinya, ketika korban mengalami kegagalan pembayaran utang, maka orang tersebut akan berupaya meminjam dari penyelenggara pinjol ilegal lain. Padahal, sebenarnya pinjol lain tersebut merupakan bagian dari grup penyelenggara pinjaman online ilegal yang sama.
"Suatu penyelenggara pinjaman online ilegal tergabung dalam grup dengan penyelenggara pinjaman online ilegal lain. Inilah yang membuat beban utang dengan bunga tinggi yang ditanggung oleh korban menjadi semakin besar," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (22/11/2021).
Berdasarkan analisis PPATK, ditemukan pula adanya dugaan aliran dana hasil kejahatan yang berasal dari luar wilayah Indonesia dan digunakan sebagai modal dalam bisnis pinjol ilegal tersebut.
Pasalnya, kini interkonektivitas di antara lembaga keuangan dalam negeri maupun lembaga keuangan internasional sangat pesat. Kemungkinan pinjol ilegal berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pun terbuka.
Alhasil, aliran dana masuk dan keluar Indonesia (illicit financial flows) yang berasal dari upaya mengaburkan, menyamarkan asal-usul uang dari tindak pidana asal seperti korupsi atau narkoba pun merupakan hal yang perlu diwaspadai sehingga tidak menciderai pertumbuhan ekonomi.
"PPATK bersama LPP [Lembaga Pengawas dan Pengatur] berupaya meningkatkan risk awareness dan prudential standard, sehingga Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa [PMPJ] akan membantu khususnya Penyedia Jasa Keuangan bank dan non-bank. Dalam diskusi ini kita akan mendapatkan informasi yang bermanfaat dalam upaya mendeteksi, mencegah, dan memberantas maraknya aktivitas pinjaman online ilegal yang terindikasi TPPU," tutupnya.
PPATK menilai pinjol ilegal jangan sampai menciderai inovasi keuangan di Indonesia. Pasalnya, pemain teknologi finansial (tekfin/fintech) di Indonesia tengah mengalami pertumbuhan pesat dan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Misalnya, memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan, kemudahan dalam mendapatkan akses pendanaan guna menggerakkan dan meningkatkan usaha kecil masyarakat, mendukung inklusi keuangan masyarakat, mempercepat perputaran ekonomi, dan membantu pelaku usaha untuk mendapatkan modal dengan bunga rendah.
OJK menyebutkan sampai dengan 30 September 2021 sudah ada Rp262,93 triliun akumulasi pinjaman via fintech peer-to-peer (P2P) lending yang disalurkan kepada masyarakat dengan 71,06 juta rekening pengguna.
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan, Tris Yulianta menyampaikan setidaknya ada empat faktor pendorong utama banyaknya masyarakat terjebak pinjaman illegal (pinjol) illegal.
Pertama, kebutuhan peminjam yang mendesak untuk menyambung hidup dan kebutuhan dasar lainnya. Kedua, kemudahan dalam berhutang dengan menggunakan aplikasi, ditambah persyaratan mudah dan pencairan cepat.
Ketiga, mudah bagi suatu oknum pinjol ilegal membuat sebuah aplikasi dan penawaran yang menjebak. Terakhir, literasi keuangan dan literasi digital masyarakat Tanah Air itu sendiri masih terbilang rendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel