Mantap! Industri Pinjol di Indonesia jadi Percontohan Negara Tetangga

Bisnis.com,25 Nov 2021, 08:00 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Mendengar kata pinjaman online (pinjol) saat ini memang membuat telinga risih, tercoreng ulah jahat dari platform-platform ilegal. Namun, siapa sangka, industri resmi dalam pengawasan otoritas di Tanah Air justru tengah menjadi percontohan negara tetangga. 

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan NonBank (IKNB) OJK, Riswinandi Idris pun sempat mengungkap bahwa fenomena pemain teknologi finansial pendanaan bersama atau peer-to-peer (P2P) lending asli Tanah Air melakukan penetrasi ke pasar Asean merupakan kebanggaan. 

"Kami melihat bahwa fintech startup lokal kita cukup prospektif dan memiliki peluang melakukan penetrasi ke pasar regional. Hal ini telah terlihat dengan adanya fintech P2P kita yang masuk ke negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina. Tentu hal ini membuktikan bahwa fintech P2P kita, memiliki keunggulan dan daya saing yang sangat baik," ungkapnya dalam diskusi virtual OJK beberapa waktu lalu. 

Saat ini, PT Investree Radhika Jaya (Investree) menjadi salah satu pemain fintech P2P lending lokal di klaster produktif yang telah berekspansi ke negara tetangga, yaitu Thailand dan Filipina. 

Investree Philippines hasil joint venture dengan Filinvest Development Corp bahkan bahkan menjadi fintech berbasis crowdlending pertama di Filipina per Januari 2021. Sementara Investree (Thailand) Co Ltd mengoperasikan platform crowdfunding di Thailand setelah mendapat izin dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand (SEC) per 23 Februari 2021.

Adrian Gunadi, Co-Founder & CEO Investree, menjelaskan bahwa permasalahan UMKM di kedua negara tersebut sebenarnya serupa dengan Tanah Air. Hanya saja, UMKM di Indonesia tertolong oleh penetrasi internet dan layanan digital yang sudah lebih kuat, sehingga adopsi terhadap layanan keuangan digital pun bisa masuk lebih cepat. 

"Kami lihat UMKM di Indonesia sudah lebih melek digital. Berkembangnya industri fintech di sini pun sudah hampir 6 tahun, sementara di Filipina dan Thailand baru 3 tahun belakangan," ujarnya dalam diskusi virtual bersama media di Bulan Fintech Nasional & Indonesia Fintech Summit 2021, dikutip Rabu (24/11/2021). 

Hal ini membuat Investree masuk ke kedua negara tersebut bukan hanya untuk berbisnis semata, namun sekaligus untuk memperkenalkan industri fintech penyedia layanan permodalan alternatif buat UMKM yang masih unbanked dan underserved di kedua negara tersebut, seperti halnya fintech P2P lending di Indonesia. 

"Jadi, di kedua negara itu mirip-mirip iklim fintech di Indonesia 2016-2017. Bahkan, kalau di Filipina itu regulasi resmi soal crowdfunding baru keluar 2019. Kami pun banyak ditanya oleh regulator di Filipina dan Thailand soal perkembangan regulasi industri fintech lending di Indonesia, karena kebetulan Investree di sini pun termasuk salah satu pemain awal," tambahnya. 

Ke depan, pria yang juga dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ini menyebut ekosistem digital di kedua negara tersebut memiliki potensi yang besar walaupun belum matang. Kontribusi keduanya buat kinerja keuangan Grup Investree diproyeksi baru akan terlihat dalam 1-2 tahun mendatang. 

Ketua Umum Asosiasi Pendanaan Fintech Bersama Indonesia yang juga CEO Investree Adrian A. Gunadi, memberikan penjelasan pada diskusi Digital Economic Forum di Jakarta, Kamis (28/3/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

Sedikit berbeda, PT Mitrausaha Indonesia Grup (Modalku) telah terlebih dahulu membuat platform serupa dengan nama Funding Societies di Singapura dan Malaysia, sebelum akhirnya ikut merambah Thailand pada awal 2021.

Co-Founder & CEO Modalku, Reynold Wijaya menjelaskan bahwa langkah ini merupakan komitmen Grup Modalku untuk ikut memperluas peran dan dampak sosial di Asean, karena disrupsi layanan keuangan oleh fintech nyatanya berpengaruh sangat signifikan buat kawasan ini. 

"Sebagai contoh, di Singapura itu ada asumsi bahwa UMKM yang tidak bisa mendapatkan pendanaan ke institusi keuangan tradisional itu tidak layak kredit sama sekali. Jadi, di sini PR-nya adalah edukasi bahwa semua UMKM layak untuk mendapatkan pendanaan," ungkapnya kepada Bisnis. 

Sama seperti di Indonesia, setiap lembaga keuangan memang memiliki kebijakan masing-masing untuk melayani segmen tertentu. Namun, apabila suatu UMKM tak pernah disentuh layanan pendanaan sama sekali, akibatnya kapasitas mereka untuk naik kelas akan memakan waktu yang terlalu lama. 

"Sedangkan di Malaysia, edukasi terkait manfaat P2P lending untuk perkembangan bisnis UMKM masih terus dijalankan, karena mereka masih baru soal pendanaan digital. Mereka belum banyak kenal soal layanan finansial yang bisa mendukung mereka lebih cepat naik kelas dengan pendekatan produk bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pelaku usaha," tambahnya.

Terakhir, Modalku juga kepincut berekspansi ke Thailand karena lebih dari 3 juta UMKM di sana berkontribusi terhadap 40 persen dari produk domestik bruto (PDB), namun 50 persen di antaranya sulitnya memperoleh pinjaman produktif.

"Khususnya pinjaman modal usaha jangka pendek, sehingga ada kesenjangan dana usaha sebesar lebih dari US$40 miliar bagi UMKM Thailand. Inilah kenapa Funding Societies di Thailand mau hadir untuk menyediakan akses pendanaan UMKM. Tantangannya di sana pun sama, dari sisi edukasi karena industri P2P lending di sama masih cukup baru," tutupnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini