Pandemi Covid-19 secara tidak sengaja telah mengakselerasi proses transformasi peradaban dari era industri analog menuju era informasi digital, terutama di industri perdagangan dan keuangan.
Industri asuransi di Tanah Air juga menyaksikan pertumbuhan cepat bisnis insurtech meski masih jauh jika dibandingkan dengan investasi global di bisnis serupa 11 tahun terakhir yang mencapai 2.284 transaksi bernilai sedikitnya Rp340 triliun (US$24 miliar).
Dinamika ini sejalan dengan dorongan untuk melakukan efisiensi proses bisnis. Memang tidak ada yang dapat memastikan kapan proses digital akan sepenuhnya diadopsi industri asuransi tetapi arahnya sudah jelas menuju ke sana.
Di sisi lain, warisan masalah lama industri asuransi tidak dapat terhapus begitu saja. Bahkan selama pandemi ini berbagai praktik ‘ceroboh’ industri asuransi terkuak dan membuat kaget masyarakat.
Kebutuhan akan kapital dalam jumlah besar untuk mengoreksi masalah beberapa perusahaan asuransi menjadi dilema ketika modal seharusnya dapat mulai dialokasikan untuk membangun industri asuransi masa depan berbasis digital. Namun, membiarkan masalah perusahaan asuransi tanpa adanya tambahan kapital sebagai penyelamat bukanlah praktik terpuji.
Sesungguhnya, risiko yang dihadapi perusahaan asuransi untuk menghentikan usahanya karena warisan masalah masa lalu dan alasan ekonomi masa kini tidak hanya terjadi di Indonesia. Jadi, melakukan run-off merupakan praktik standar bagi perusahaan asuransi yang harus menuntaskan kewajibannya kepada para pihak.
Berdasarkan survei PwC pada 2019 terungkap bahwa ada kapital sebesar Rp11.000 triliun (US$791 miliar) yang disiapkan secara global untuk tujuan run-off perusahaan asuransi. Kapital adalah unsur pokok perusahaan asuransi, baik untuk bisnis masa depan maupun untuk memenuhi kewajiban masa kini akibat bisnis underwriting di masa lalu.
Formula Risk-Based Capital (RBC) atau Solvency II sebetulnya telah lama terbukti mampu mengkalkulasi kecukupan modal suatu perusahaan asuransi secara akurat guna memastikan risiko dapat termitigasi dengan baik. Karena formula RBC begitu sentral maka para stakeholders sebaiknya juga memahami peran mereka masing-masing untuk mengawalnya agar tidak sampai terjadi malapetaka yang tidak diperlukan.
Memiliki dasbor yang baik saja belum memadai. Para pemangku kepentingan patut memiliki kapabilitas untuk menggunakannya dalam memilih keputusan-keputusan yang tepat.
Pertama, pengurus perusahaan perlu terus mencari dan berusaha menemukan terobosan yang inovatif tapi prudent, guna memastikan terpenuhinya RBC yang disyaratkan regulasi tanpa memboroskan kapital investor atau pemegang saham.
Misalnya dengan mengembangkan berbagai produk pertanggungan risiko jenis baru seperti cyber security atau healthy life-style yang sederhana dan jelas, serta dengan harga premi lebih terjangkau melalui saluran distribusi baru.
Tentu saja biaya investasi pengembangan produk dan layanan perlu dibicarakan kepada para pemegang saham dan investor, terutama perihal yield, baik dari segi besaran, waktu, dan mekanisme memperolehnya.
Kedua, para tertanggung, intermediaries, dan para mitra lama perusahaan asuransi sedapat mungkin berusaha memahami dengan lebih teliti akan jasa asuransi yang ditawarkan kepada mereka, melalui mereka, dan didukung oleh mereka.
Dengan begitu, pemahaman masyarakat akan ruang lingkup pertanggungan dan nilai pertanggungan, harga atau premi pertanggungan, serta alternatif sharing risiko yang tersedia di pasar dapat terus meningkat.
Di samping itu, praktik-praktik usang seperti perang harga dan perang biaya akuisisi bukan lagi menjadi agenda utama para tertanggung dan para intermediaries. Sebaliknya, pertimbangan layanan, termasuk komunikasi yang jelas tentang ruang lingkup risiko yang di-cover sejak awal merupakan keuntungan yang harus dicari publik.
Ketiga, para pelaku bisnis digital dan startup yang membawa revolusi risiko bagi lanskap bisnis global dan nasional juga memiliki potensi kontribusi yang sangat besar dalam mengembangkan perusahaan asuransi yang sehat. Keempat, peran regulator dalam menjaga industri asuransi agar tetap sehat di tengah cuaca pancaroba peradaban sangat didambakan semua pihak.
Kita bersyukur parameter RBC masih dapat terus digunakan sebagai instrumen ampuh dalam memonitor perkembangan kesehatan perusahaan asuransi. Lebih dari itu, regulator tetap perlu mendorong perusahaan asuransi agar terus inovatif dan prudent agar pemain lama tak tergilas waktu oleh tekanan persaingan global.
Harapannya mereka dapat bertransformasi menjadi perusahaan asuransi yang selalu relevan dan dibutuhkan masyarakat.
Kelima, para pemegang saham dan investor sebaiknya siap bahu membahu dengan para stakeholders lainnya dalam menyediakan deep pocket untuk berjaga-jaga ketika situasi terburuk insolvency pada suatu titik waktu tertentu sulit dihindari.
Kita boleh berharap para entrepreneurs dan inovator di bidang asuransi dapat bertemu dengan financial capital yang memadai untuk membangun industri asuransi yang relevan dan sehat dalam menghadapi peradaban baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel