Bisnis.com, JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan sulitnya memprediksi arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve menjadikan adanya volatilitas yang terjadi di pasar.
Apalagi, Dody menilai tidak ada yang akan tahu apa hasil dari Federal Open Market Committe yang diselenggarakan oleh The Fed, pada 14 Desember 2021 esok hari.
Pada saat menghadiri pertemuan pertama Finance and Central Bank Deputies (FCBD) G20 di Nusa Dua, Bali (9-10/12/2021), Dody juga menyebut tidak bisa mendapatkan jawaban yang jelas dari pihak The Fed, yang juga menjadi delegasi.
"Hasil FOMC tidak ada yang tahu. Kemarin pada forum juga tidak ada jawaban. Tapi, dilihat dari komunikasi pertemuannya yang terakhir, sangat jelas inflasi [Amerika Serikat] sifatnya transitory, dan tidak akan berlangsung lama. Lalu, sekarang jadi less transitory," jelas Dody, minggu lalu (10/12/2021).
Inflasi Amerika Serikat (AS) menguat pada November 2021 sebesar 0,8 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) atau secara tahunan sebesar 6,8 persen (year-on-year/yoy).
Menurut Dody, adanya pernyataan bahwa inflasi menjadi less transitory membuat pasar bereaksi. Banyak yang berspekulasi bahwa tapering off akan dilaksanakan lebih dini, atau kenaikan Federal Fund Rate (FFR) bisa dimajukan ke 2022 dari rencana awal 2023.
"Pasar juga sudah menebak antara kenaikan 25 bps -100 bps untuk federal fund rate [suku bunga acuan]," kata Dody.
Dalam kondisi apapun, Dody mengatakan volatilitas akan menjadi dampaknya. Aliran modal dinilainya lebih cenderung untuk keluar dibandingkan masuk. BI mencatat aliran modal asing yang keluar dari pasar domestik secara tahun berjalan telah mencapai Rp45,91 triliun.
Seperti salah satu emerging markets, Indonesia ikut terdampak dari aliran modal atau nilai tukar mata uang lokal. Namun, Dody menjelaskan ada beberapa hal yang bisa tetap dilakukan untuk mengatasi volatilitas tersebut.
Pertama, komunikasi yang baik dari The Fed. Hal ini merupakan salah satu bahasan prioritas Presidensi G20 Indonesia jalur keuangan. Indonesia menekankan pentingnya exit policy yang terancang dengan baik, agar bisa pulih bersama tanpa satu negara bisa menimbulkan rambatan atau spill over ke negara lainnya.
Kedua, intervensi dengan strategi triple intervention di pasar spot, pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Menurut Dody, ini bisa mengatasi dampak volaitilitas di pasar akibat normalisasi kebijakan moneter. Baik dari sisi aliran modal dan nilai tukar.
"Rupiah memang terdepresiasi 1,6 persen [ytd]. Tapi coba lihat depresiasi mata uang Filipina atau Thailand, lebih besar," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel