Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa konsumsi rokok telah menimbulkan beban jaminan kesehatan nasional (JKN) yang cukup besar.
Dia memaparkan, biaya kesehatan akibat merokok bisa mencapai Rp17,9 triliun-Rp27,7 triliun setahun. Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5-Rp15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan.
"Artinya, 20 persen-30 persen dari subsidi PBI [penerima bantuan iuran] JKN sebesar Rp48,8 triliun adalah untuk membiayai perawatan akibat dampak rokok ini," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2022, Senin (13/12/2021).
Selain itu, konsumsi rokok juga menyebabkan biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif sangat tinggi. Sri Mulyani menyebut bahwa berdasarkan survei Balitbangkes 2017, biaya kehilangan tahun produktif yang timbul karena penyakit, disabilitas, dan kematian dini akibat merekok diestimasi mencapai Rp374 triliun di 2015.
Dengan bahaya dari merokok tersebut, kata Sri Mulyani, pemerintah menggunakan instrumen kebijakan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak dan remaja.
Perokok anak meningkat dari 7,2 persen di 2013 menjadi 9,1 persen di 2018. Sesuai RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak turun menjadi 8,7 persen di 2024.
"Kami melihat cukai sebagai salah satu instrumen yang menentukan. Di 2019, di mana kami tidak menaikkan cukai rokok, kita melihat prevalensi merokok anak langsung meningkat lagi menjadi 9,9 persen. Sesudah kami melakukan kenaikan, maka terlihat penurunan tahun 2019 ke 2020 menjadi 9 persen," tutur Sri Mulyani.
Adapun, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau atau CHT untuk 2022 rata-rata 12 persen. Namun, untuk SKT, kenaikannya hanya mencapai rata-rata 4,5 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel