Urgensi Pengaturan Fintech Lewat Undang-undang

Bisnis.com,13 Des 2021, 07:47 WIB
Penulis: Denis Riantiza Meilanova
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA -- Perkembangan financial technology (fintech) yang begitu pesat mendesak kehadiran sebuah payung hukum yang kuat untuk meminimalisir berbagai ekses negatif dari pemanfaatan fintech.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, fintech memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Fintech dapat menjadi sumber pendanaan alternatif bagi UMKM karena prosedur pengajuan pinjamannya yang singkat, sederhana, dan mudah.

Namun, pemanfaatan teknologi digital tentunya memiliki risiko dan tantangan yang tidak mudah. "Kita juga mengetahui teknologi digital memberikan konsekuensi dan risiko negatif. Tantangannya tidak selalu mudah, mulai dari risiko terkait privasi data, kerugian finansial, penipuan, dan exclusion, yaitu mereka yang tidak cakap secara digital menjadi objek yang sangat mudah untuk dieksploitasi," ujarnya dalam gelaran Indonesia Fintech Summit 2021, Sabtu (11/12/2021).

Selama periode 2018-2021, kata Sri Mulyani, Satgas Waspada Investasi menutup 3.365 pinjaman online (pinjol) ilegal di Indonesia. Menurutnya, data ini mencerminkan tantangan nyata bagi regulator dan para pelaku industri yang memiliki komitmen untuk terus menjaga industrinya menjadi baik.

Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan teknologi digital, katanya, harus diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang sesuai dengan tetap melindungi konsumen, namun tidak mengkerdilkan industri fintech itu sendiri.

Untuk menjawab kebutuhan tersebut pemerintah bersama DPR tengah menyusun rancangan undang-undang untuk pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang di dalamnya juga akan mengatur mengenai fintech. RUU tersebut akan memuat mengenai definisi dan ruang lingkup fintech, badan hukum penyelenggara fintech, pengaturan dan pengawasan fintech, perizinan asosiasi fintech, hingga perlindungan konsumen. Selain itu, istilah fintech juga akan diusulkan untuk diubah menjadi inovasi teknologi sektor keuangan agar bisa mencakup kegiatan di dalam industri yang cukup luas.

"Bank itu diatur secara kuat, rigid. Fintech itu growing aja. Ini menimbulkan uneven playing field, jadi ini sesuatu yang perlu dilihat. Ini dengan kelincahannya dan regulasi yang very light touch atau bahkan absent, jadi growing luar biasa. Namun, kemudian menimbulkan ekses, entah ke konsumen, data hilang, dipakai atau dibajak atau dieskploitasi, money laundering," tutur Sri Mulyani.

Dia berharap dalam proses penyusunan RUU tersebut para pelaku usaha fintech dapat secara aktif melakukan komunikasi dan memberikan masukan agar kebijakan yang dibentuk nantinya dapat mengakomodasi perkembangan fintech dengan perubahan yang sangat dinamis dan cepat.

"Jadi kami lihat ini sesuatu yang luar biasa dinamis. Regulasinya harus seperti apa agar inovasi dinamikanya mereka tidak terkurangi, namun eksesnya bisa mulai kita address," katanya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, untuk mengoptimalkan potensi besar fintech, sejak awal pihaknya telah berkomitmen untuk menghadirkan kebijakan yang akomodatif. Produk-produk keuangan yang dulu hanya dapat dikeluarkan oleh lembaga keuangan, saat ini dapat dikeluarkan oleh lembaga-lembaga non-keuangan, seperti fintech.

"Perdebatannya keras. Ada yang berpendapat yang boleh mengeluarkan produk keuangan hanya lembaga keuangan. Kalau itu dilakukan saya rasa tidak akan seperti sekarang ini. Di Indonesia, lembaga keuangan pasti itu hanya bank, lembaga keuangan mikro, BPR," katanya.

Kebijakan akomodatif tersebut diyakininya telah membuahkan hasil. Indonesia kini telah melahirkan startup yang jumlahnya terus bertumbuh di luar ekspektasi dengan potensi transaksi digital yang luar biasa.

“Sekarang ini sudah ada 2.319 startup. Delapan yang unikorn, satu dekakorn. Potensi transaksi nilai digital luar biasa. Pada 2025 diperkirakan bisa menyentuh US$124 miliar, yang ini artinya kita akan paling maju di Asia,” ujar Wimboh.

Di tengah percepatan perkembangan fintech tersebut, dia tak memungkiri bahwa belum semua masyarakat memiliki pemahaman yang cukup terkait produk-produk yang ditawarkan oleh fintech. Untuk itu, peningkatan literasi masyarakat terhadap produk fintech memang harus dipercepat.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menuturkan, pinjol ilegal menjadi distorsi bagi perkembangan industri fintech. Oleh karena itu, pemberantasan pinjol ilegal menjadi salah satu prioritas bagi para pelaku industri fintech.

"Ada task force yang kami bentuk bersama antara AFTECH [Asosiasi Fintech Indonesia] dan AFPI untuk berantas fintech ilegal. Tapi saya rasa pemberantasan tersebut harus lebih smart, yaitu dengan membatasi ruang gerak fintech ilegal. Kalau hanya sekedar menutup yang namanya teknologi sangat mudah mencari celah," tutur Adrian, Minggu (12/12/2021).

Dari asosiasi sendiri, AFPI juga telah meningkatkan monitoring para perusahaan anggotanya untuk memastikan kode etik penyelenggaraan fintech lending dijalankan dengan benar oleh masing-masing penyelenggara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Azizah Nur Alfi
Terkini