Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia (BI) telah melakukan langkah cepat sejak awal outbreak Covid-19 di Indonesia dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan yang terkoordinasi.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan baik dari sektor keuangan, fiskal, maupun moneter memiliki sifat yang sangat luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Tanah Air.
Menurut Wimboh, langkah ini dilakukan agar Indonesia bisa mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian, masyarakat, dan sektor keuangan, yakni dengan mengatur kepercayaan terhadap ekonomi dan sektor keuangan agar terjaga dengan baik.
“Sehingga tidak terjadi capital outflow dan juga tidak terjadi tekanan likuiditas. Meskipun ada kenaikan risiko kredit maupun pembiayaan, namun tetap terukur dan ada buffer yang cukup untuk memitigasi itu,” kata Wimboh dalam acara Bisnis Indonesia Business Challenge 2022, Rabu (15/12/2021).
Wimboh melanjutkan, bersamaan dengan implementasi kebijakan di sektor kesehatan dan pengendalian mobilitas masyarakat, sinergi, dan koordinasi OJK dengan pemerintah otoritas telah berjalan dengan baik melalui kerangka komite stabilitas sistem keuangan.
Adapun kebijakan yang dimaksud Wimboh antara lain, pemerintah telah menaikkan pagu anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 menjadi Rp744,77 triliun. Anggaran ini naik dibandingkan tahun lalu yang hanya Rp695,2 triliun.
Di mana, anggaran PEN dialokasikan untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM, dan korporasi melalui penjaminan dan subsidi bunga, termasuk insentif usaha dan program prioritas lainnya.
Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan berbagai kebijakan moneter yang akomodatif, salah satunya melalui penetapan suku bunga acuan yang rendah 3,5 persen.
Tak berhenti di sana, BI juga berperan sebagai standby buyer, di mana bank sentral diperbolehkan melakukan pembelian surat berharga negara atau obligasi pemerintah di pasar perdana, sehingga kesehatan fiskal tetap dapat terjaga dengan baik.
Sementara itu, OJK memberikan kebijakan stimulus berupa restrukturisasi kredit dan kebijakan lain yang telah diterapkan.
Wimboh menjelaskan, stimulus restrukturisasi kredit dimaksudkan agar para nasabah tetap bisa menjalankan usahanya, meskipun pada saat ini ada beberapa nasabah yang memang belum pulih kembali. “Tapi tetap dalam kerangka restrukturisasi, sehingga tidak digolongkan macet,” imbuhnya.
Lalu, perbankan juga diperkenankan secara gradual untuk membentuk pencadangan kredit macet. Kebijakan ini dilakukan untuk memberikan waktu bagi perbankan dan sektor riil untuk bisa bertahan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
OJK menyakini bahwa dengan berbagai stimulus kebijakan yang dikeluarkan, maka bisa memulihkan perekonomian Indonesia. Kendati demikian, impian itu bisa terjadi setelah Indonesia bisa menangani Covid-19 dengan baik.
“Akan kita normalkan POJK restrukturisasi pada 2023 dengan harapan bahwa dalam masa ini kita imbau perbankan untuk tetap menyusun pencadangan sesuai dengan kekuatannya,” jelasnya.
Wimboh menyakini bahwa pada 2023 mendatang, semua bank sudah bisa membentuk cadangan bagi debitur yang memang tidak bisa pulih kembali. Apabila ini harus terpaksa dikategorikan dalam kategori macet, maka pencadangannya sudah dibentuk dan tidak membuat permasalahan permodalan bagi lembaga keuangan dan bank-bank tersebut.
Tak hanya melakukan relaksasi kredit, OJK turut serta dalam ranah pasar modal atau industri keuangan non-bank dan meningkatkan inklusi keuangan serta pemberdayaan UMKM agar lebih optimal dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel