Ekonomi Bergeliat, Produksi Pipa Baja Spindo (ISSP) Bakal Tembus 300.000 Ton Tahun Ini

Bisnis.com,19 Des 2021, 10:11 WIB
Penulis: Reni Lestari
Pipa baja ERW Spindo telah digunakan di beberapa proyek jembatan, proyek konstruksi terutama untuk bangunan bentang lebar seperti bandara, stadion, dan aula, serta aplikasi struktur selubung bangunan./Istimewa-Spindo

Bisnis.com, JAKARTA – Produsen pipa baja las PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. (ISSP) atau Spindo bakal mencapai volume produksi di atas 300.000 ton pada tahun ini.

Chief Strategic Officer Spindo Johanes Edward mengatakan bahwa volume produksi perseroan akan berkisar 305.000 ton hingga 320.000 ton. Angka tersebut tumbuh 5 persen hingga 10 persen dibandingkan dengan volume produksi tahun lalu.

“Secara pertumbuhan, kami anggap sangat baik mengingat seluruh tantangan yang ada di 2021,” kata Johanes kepada Bisnis, Minggu (19/12/2021).

Dengan kapasitas produksi mencapai 600.000 ton per tahun, rata-rata utilisasi Spindo berada di kisaran 50 persen hingga 53 persen sepanjang 2021.

Pada 2022, Johanes membidik pertumbuhan volume produksi antara 20 persen hingga 30 persen, sehingga utilisasi bisa terkerek antara 66 persen hingga 70 persen.

Pertumbuhan produksi dan proyeksi itu seiring dengan membaiknya kinerja sektor-sektor terkait pada kuartal III/2021, seperti manufaktur yang tumbuh 3,68 persen dan konstruksi 2,43 persen.

Adapun, realisasi nilai penjualan sampai dengan September 2021 telah mencapai Rp3,8 triliun, atau naik 40,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Realisasi penjualan tersebut bahkan lebih besar 5,58 persen dibandingkan dengan September 2019.

Spindo diketahui memiliki 6 unit pabrik yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Barat. Lebih dari 60 persen produk Spindo digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur, konstruksi, utilitas. Sementara itu, 40 persen sisanya untuk sektor minyak dan gas, otomotif, serta furnitur.

Johanes mengatakan, tantangan di industri hilir baja saat ini adalah kendala bahan baku terkait risiko volatilitas ekonomi dan krisis energi di China.

“Tentunya [krisis energi China] berpengaruh, karena harga bahan baku bagaimanapun dipengaruhi juga oleh kondisi baja di China,” katanya.

Sebagai langkah antisipasi, lanjutnya, perseroan menerapkan manajemen bahan baku dan meningkatkan pengapalan ke pasar, seperti Amerika Serikat dengan harga baja yang relatif tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Lili Sunardi
Terkini