Penyaluran Pinjaman P2P Lending Bisa Tumbuh 50 Persen di 2022

Bisnis.com,19 Des 2021, 18:03 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ilustrasi pinjaman online. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Tren pertumbuhan penyaluran pinjaman industri teknologi finansial pendanaan bersama alias peer-to-peer (P2P) lending dengan nilai signifikan dipercaya masih akan berlangsung pada periode 2022.

Sebagai gambaran, penyaluran pinjaman dari para pendana (lender) ke peminjam (borrower) di industri fintech P2P lending sepanjang 2020 mencapai Rp74,41 triliun atau naik sekitar 26,4 persen (year-on-year/yoy) dari capaian 2019.

Adapun, sejak awal tahun sampai Oktober 2021, total loan disbursement telah menembus Rp129,38 triliun. Tercatat telah jauh melampaui full year 2020 sekaligus target asosiasi industri yang sebelumnya dipatok Rp100 triliun di akhir 2021.

Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengungkap berdasarkan proyeksi kinerja 104 pemain di industri, penyaluran pinjaman pada tahun ini berpotensi menembus Rp150 triliun.

"Kalau tahun ini menyentuh proyeksi tersebut, kami percaya tahun depan masih bisa tumbuh 50 persen dari tahun ini, atau disbursement di atas Rp220 triliun. Kenapa? Karena setiap pemain pasti improve, dan dukungan lender institusi akan jauh lebih besar," ungkap Kus kepada Bisnis, Minggu (19/12/2021).

Proyeksi ini terbilang masuk akal, karena rata-rata disbursement bulanan dari para pemain di sepanjang periode berjalan menyentuh Rp12,93 triliun.

Secara spesifik, hanya Januari dan Februari yang berada di Rp9 triliun-an, namun Maret sampai bulan-bulan seterusnya selalu menyentuh belasan triliun, dengan puncak tertinggi senilai Rp15,66 triliun pada Juli 2021.

Kus menggarisbawahi dukungan lender institusi sebagai salah satu pendorong utama, karena tahun depan akan ada tren baru di mana setiap platform P2P lending akan memperkuat peran sebagai penyedia akses pinjaman ke borrower UMKM di berbagai ekosistem digital.

"Semoga pandemi sudah mereda tahun depan, sehingga UMKM punya kans membangkitkan lagi usahanya lewat pinjaman produktif. Kalau mereka kesulitan mengakses kredit modal kerja langsung dari bank, pasti akan larinya ke kita [fintech lending]. Nah, inilah kenapa akan semakin banyak bank yang memanfaatkan kita buat memastikan dulu kinerja para pelaku UMKM," jelasnya.

Kus menggambarkan bahwa fintech P2P lending memiliki kelebihan dari sisi fleksibilitas dan kecepatan. Berbeda dengan perbankan yang memprioritaskan prinsip kehati-hatian.

Oleh sebab itu, fintech P2P lending sangat cocok sebagai tempat borrower UMKM membangun riwayat kredit, sebelum akhirnya dinilai mampu mengakses pinjaman bernilai besar dari perbankan.

"Kami yakin masih ada puluhan juta UMKM yang belum tersentuh layanan pinjaman produktif. Padahal, yang namanya UMKM sekarang itu bukan hanya warung makan atau toko kelontong, tapi juga penjual online, kurir jasa logistik, sampai pekerja kreatif. Setiap platform P2P lending pasti akan mencoba masuk lebih dalam ke berbagai ekosistem digital buat menjangkau mereka," tambah Kus.

Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta pun sempat mengungkap hal serupa, di mana industri P2P lending akan berperan besar menjadi penghubung antara lembaga keuangan konvensional dengan para UMKM prospektif.

"Kami yakin kolaborasi fintech lending dengan industri keuangan akan tumbuh lebih baik di tahun depan. Bukan cuma dengan bank dan multifinance, tapi BPR pun sudah banyak yang ikut jadi lender. Kami lihat ini positif dan harus terus ditingkatkan," ungkapnya dalam Fintech Lending Outlook 2022 bersama AFPI beberapa waktu lalu.

OJK pun bakal lebih mendorong setiap platform P2P lending memperbesar kolaborasi dengan lembaga keuangan konvensional lewat regulasi anyar yang akan terbit dalam waktu dekat. Tepatnya, memperbolehkan utang dari lender lembaga keuangan mencapai 75 persen dari total outstanding tahunan suatu platform.

Dalam aturan yang sama, OJK akan membatasi agar suatu institusi non-lembaga keuangan maksimal hanya bisa mengambil porsi 25 persen dari total outstanding tahunan suatu platform. Bertujuan menghindari fenomena suatu platform hanya menjadi penyalur likuiditas eksklusif bagi sebuah institusi tertentu.

"Ada kasus di mana suatu platform hanya menggantungkan operasionalnya dari satu institusi yang menjadi super lender. Kalau begini, platform itu sebenarnya mengoperasikan fintech lending atau hanya pengelola keuangan super lender-nya? Makanya kita akan batasi. Kalau lembaga keuangan kami perbolehkan sebesar-besarnya karena akan mendorong keberlanjutan inklusi keuangan para borrower," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini