Bisnis.com, JAKARTA — Peluncuran asuransi tanaman berbasis indeks kelembapan tanah oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) membuka jalan pengembangan pengelolaan mahadata atau big data sebagai indeks acuan dalam penentuan risiko asuransi. Sistem itu dapat dikembangkan untuk proteksi di berbagai sektor, mulai dari pertambangan hingga transportasi laut.
Ketua Umum AAUI, Hastanto Sri Margi (HSM) Widodo menjelaskan bahwa produk teranyar itu memberikan proteksi terhadap risiko kekurangan kelembapan tanah yang dapat berakibat pada gagal panen. Dalam peluncurannya, produk itu pertama-tama baru mencakup proteksi terhadap tanaman kakao.
Dalam produk itu, AAUI memanfaatkan data-data historis kelembapan tanah sebagai acuan dalam perhitungan risiko. Menurut Widodo, pihaknya berkesimpulan bahwa terdapat perubahan curah hujan pada paruh pertama dan kedua setiap tahun, sehingga menyebabkan kurangnya kelembapan tanah pada Mei—Juli dan kelebihan kelembapan pada Juli—Oktober.
Dia menjelaskan bahwa kelembapan tanah dapat memengaruhi hasil panen petani kakao, baik dari sisi kualitas kakao, bahkan hingga bisa menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu, pemanfaatan data kelembapan tanah dan berbagai data lain, seperti curah hujan dan cuaca, dapat memberikan gambaran risiko yang lebih jelas bagi perusahaan asuransi.
Meskipun begitu, menurut Widodo, asuransi tanaman ini memberikan pendekatan berbeda karena perusahaan asuransi membayarkan klaim bukan saat terjadi gagal panen. Asuransi justru memberikan proteksi saat risiko akan segera terjadi, dengan keputusan pemberian klaim mengacu kepada mahadata yang ada.
Misalnya, saat akan terjadi risiko kekeringan yang dapat mengurangi kelembapan tanah, asuransi langsung membayarkan klaim kepada petani kakao sehingga mereka dapat menyewa pompa air dengan uang itu.
Menurut Widodo, klaim itu sangat penting dalam menjaga keberlangsungan petani, karena 36 persen dari modal adalah untuk sewa pompa air, sedangkan petani kerap memiliki modal yang terbatas sehingga tidak siap jika terjadi kekeringan hebat.
"Saat perlindungan Mei sampai Juli, lalu Agustus terdapat perhitungan otomatis [bahwa kelembapan tanah sudah menurun dan masuk kategori berisiko], data dari indeks itu dikirimkan ke asuransi oleh sistem. Asuransi bisa langsung mengirimkan klaim kepada petani tanpa perlu mengisi banyak dokumen terlebih dahulu," ujar Widodo pada akhir pekan lalu.
Menurutnya, sistem serupa dapat dikembangkan untuk berbagai jenis produk asuransi, diawali dengan pembuatan sistem mahadata dan pengembangan produk terkait. Widodo mencontohkan bahwa mekanisme itu dapat diterapkan dalam asuransi untuk pertambangan.
Widodo menjelaskan bahwa kualitas ferronickel, sebagai salah satu komoditas pertambangan andalan Indonesia, sangat bergantung kepada kelembapan tanah. Dengan adanya asuransi berbasis indeks untuk pertambangan, industri dapat memitigasi risiko kekurangan kelembapan tanah melalui klaim asuransi, dengan premi yang bersaing karena perhitungan risikonya sangat terukur.
Selain itu, asuransi serupa dapat berlaku untuk komoditas budidaya rumput laut di pesisir pantai. Widodo menjelaskan bahwa pengembangan mahadata indeks suhu air laut dapat berguna untuk budidaya itu, yang akan dilengkapi dengan variabel-variabel lainnya.
Kemudian, mahadata pergerakan permukaan air laut dan kedalaman pantai dapat digunakan untuk pengangkutan kapal. Menurut Widodo, variabel-variabel itu dapat memengaruhi kemampuan kapal untuk bersandar di dermaga dan jumlah muatannya.
"Ketika permukaan laut rendah dan kapal tidak bisa bersandar, kami bisa tutup risiko per hari. Atau ketika kapal tidak bisa keluar dermaga dengan muatan optimum karena lautnya tidak dalam, risikonya bisa ditutup," ujar Widodo.
Adapun, Anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Riswinandi Idris mendukung pengembangan asuransi tanaman berbasis indeks tersebut. Saat ini, terdapat proteksi berupa asuransi untuk jagung dan asuransi berbasis indeks untuk kakao.
Menurutnya, keterjangkauan premi asuransi menjadi faktor krusial karena kemampuan petani terbatas, terlebih untuk membeli asuransi. Selain itu, kemudahan pengajuan klaim dengan cepat harus menjadi fokus perusahaan-perusahaan asuransi.
"Dari sini kami harap asuransi indeks bisa mengatasi tantangan, mengingat klaim bisa lebih cepat, sehingga memengaruhi produktivitas petani," ujar Riswinandi pada pekan lalu.
Riswinandi menilai bahwa kondisi krisis iklim berdampak besar terhadap para petani karena cuaca berubah dari waktu ke waktu dan meningkatkan potensi gagal panen. Ancamannya belum termasuk dari hama dan penyakit, sehingga petani menghadapi berbagai risiko yang cukup serius dalam jangka panjang.
Menurutnya, AAUI dan perusahaan-perusahaan asuransi umum memerlukan data yang sangat kompleks untuk bisa menjawab tantangan dan menyediakan solusi yang terjangkau. OJK pun menyatakan akan mendukung dari aspek regulasi, melalui koordinasi dengan kementerian-kementerian dan pemangku kepentingan terkait agar pengembangan asuransi berbasis indeks dapat terus berjalan.
"Pemerintah perlu turun tangan, karena keikutsertaan dalam asuransi pertanian dapat membantu apabila terjadi kegagalan produksi hasil panen. Lalu, selain melalui produk asuransi umum konvensional, OJK juga secara berkelanjutan mendorong pelaku industri untuk memberikan value added kepada masyarakat melalui inovasi-inovasi produk asuransi," ujar Riswinandi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel