Indef: Jika Pemerintah Gagal, UU Cipta Kerja Berisiko Inkonstitusional Permanen

Bisnis.com,22 Des 2021, 09:27 WIB
Penulis: Dany Saputra
Suasana sidang putusan gugatan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai harus memperbaiki Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja dalam dua tahun sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji formil undang-undang sapu jaga tersebut.

Sesuai dengan putusan MK yang menyatakan Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, pemerintah memiliki 24 bulan untuk memperbaiki cacat formil atau pada proses hulu pembuatan undang-undang. Apabila pemerintah gagal dalam hal tersebut, maka UU Cipta Kerja bisa dinyatakan inkonstitusional permanen.

Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Mirah Midadan mengatakan pemerintah harus berusaha untuk memenuhi tenggat waktu yang diberikan oleh MK. Karena, apabila UU Cipta Kerja dicabut atau dinyatakan inkonstitusional permanen, hal itu bisa menyulitkan pemerintah daerah yang harus kembali mengulang penyesuaian terhadap aturan dari pusat.

"Kalau misalnya Undang-Undang Cipta Kerja dalam dua tahun ke depan dicabut, ini akan menyulitkan pemerintah daerah. Karena Perdanya nanti harus berubah dan disesuaikan lagi. Itu costly [biayanya besar] untuk pemerintah daerah dan semuanya," kata Mirah pada webinar, Senin (20/12/2021).

Menurut Mirah, pemerintah daerah akan sulit untuk melakukan penyesuaian atau harmonisasi regulasi lagi apabila UU Cipta Kerja dicabut. Hingga saat ini pun, dia menilai pemerintah daerah sudah cukup kewalahan dalam menyesuaikan UU sapu jagad tersebut dengan sejumlah peraturan daerah (perda) pada satu tahun lebih ini.

"[Apabila UU Cipta Kerja dicabut] semuanya pasti sama-sama akan costly. Berarti tugas pemerintah sekarang adalah harus mengurangi biaya tersebut dengan bagaimana caranya memenuhi persyaratan dari MK dalam waktu dua tahun. Setidaknya mengurangi cost tersebut," jelasnya.

Apabila pemerintah bisa memperbaiki Cipta Kerja sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan, maka masih terdapat beberapa hal yang perlu ditempuh untuk peningkatan pelaksanaan undang-undang itu di daerah.

Pertama, kesiapan infrastruktur di daerah untuk mendukung sistem perizinan berbasis risiko atau Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA).

Kedua, perbaikan integrasi data/informasi terkait pada OSS. Ketiga, perbaikan koordinasi antara pusat dan daerah untuk mempercepat implementasi Cipta Kerja di daerah.

"Jadi mau Undang-Undang Cipta Kerja itu lanjut atau tidak, jangan sampai merugikan daerah. Karena, pemerintah daerah sudah kesulitan sejak proses adjustment saja selama satu tahun terakhir ini. Mereka sudah kesulitan dan kewalahan karena akan terus dikejar, seperti dikejar deadline," jelas Mirah.

Adapun, pemerintah menegaskan akan mematuhi putusan MK. Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah menargetkan revisi UU Cipta Kerja selesai awal 2022. Hal itu disampaikannya tak lama setelah putusan MK, pada awal bulan ini.

Dia menegaskan bahwa putusan MK hanya menyoroti masalah hulu atau aspek formil pembuatan undang-undang. Oleh sebab itu, dia mengatakan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang sudah diturunkan ke sejumlah peraturan turunan akan tetap berlaku.

"Mungkin awal tahun depan bisa kami kebut untuk diselesaikan," jelas Bahlil pada konferensi pers, Senin (1/12/2021).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini