Bisnis.com, JAKARTA -- Dalam beberapa waktu terakhir, industri asuransi dihadapkan pada sejumlah permasalahan, mulai dari banyaknya aduan atas produk unit-link hingga kasus gagal bayar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai masalah-masalah tersebut terjadi karena tata kelola perusahaan yang buruk.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A OJK, Ahmad Nasrullah mengatakan, regulator sudah memiliki aturan yang cukup lengkap terkait tata kelola industri asuransi. Bila aturan tersebut dijalankan dengan baik, menurutnya, permasalahan-permasalahan yang menimpa industri asuransi akhir-akhir ini tidak akan terjadi.
"Aturan OJK sudah banyak, bahkan ada yang menilai over prudent. Artinya, tata kelola aturan kita sudah cukup. Kalau dijalankan dengan baik oleh perusahaan asuransi, permasalahan sekarang tidak terjadi. Kalau boleh saya sampaikan permasalah-permasalahan yang sekarang terjadi, terutama di beberapa perusahaan asuransi yang besar, yang sekarang ini jadi berita, itu memang di masalah tata kelola," ujar Nasrullah dalam webinar Pembenahan Tata Kelola Asuransi Nasional, Kamis (23/12/2021).
Dia menuturkan, OJK telah secara ketat mengatur tahapan bisnis asuransi, mulai dari pembuatan produk asuransi, pengelolaan investasi, hingga penanganan konsumen.
Misalnya, ketika memberikan persetujuan terhadap sebuah produk yang diajukan oleh perusahaan asuransi, OJK akan memastikan perusahaan memiliki infrastrutur dan sumber daya yang cukup untuk mengelola produk tersebut, memastikan ketersediaan segmen pasar, dan memastikan kecukupan permodalan dan aset perusahaan.
OJK juga meningatkan kepada perusahaan asuransi untuk memperhatikan proses distribusi produk asuransinya agar tidak terjadi misselling kepada nasabah.
Perusahaan asuransi pada umumnya melibatkan agen asuransi dalam penjualan produknya. Nasrullah meminta agar perusahaan asuransi selalu memastikan agen-agennya bersertifikat dan memberikan informasi yang jelas kepada nasabah atas produk yang dijualnya.
Dalam pengelolaan investasi, OJK juga telah memberikan rambu-rambu yang cukup ketat, baik batasan-batasan secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun, kata Nasrullah, rambu-rambu yang dibuat memang tidak bisa membatasi secara spesifik instrumen investasi yang digunakan perusahaan asuransi.
"Kami hanya buat rambu-rambu, Anda boleh beli saham, tapi porsinya sekian, reksa dana sekian. Ada batasan kualitatif juga, misal harus terdaftar di kustodian, investment grade, dan segala macam," kata Nasrullah.
"Kalau appetite perusahaan, misal mau nanam di pasar modal, kalau berharap return tinggi, risiko tinggi, ya, mereka akan bertahuh di situ. Trading di saham lapis kedua, yang gitu-gitu tidak mungkin kami larang karena di pasar modal lumrah terjadi. Kami tidak mungkin buat aturan Anda hanya boleh investasi di saham blue chip atau LQ45," jelasnya.
Dia menilai, permasalahan investasi yang sekarang terjadi di industri asuransi kebanyakan karena perusahaan cenderung agresif dalam berinvestasi di instrumen pasar modal yang risikonya terlalu tinggi dan tidak dikelola dengan baik.
Selain itu, dia juga meminta agar perusahaan asuransi memperbaiki pelayanan kepada nasabah, terutama dalam menangani keluhan nasabah dan layanan klaim. Dia melihat ramainya aduan nasabah atas produk unit-link di DPR baru-baru ini, menjadi contoh bentuk ketidakpuasan nasabah atas layanan penanganan konsumen yang diberikan perusahaan asuransi.
"Saya melihat mestinya aspek tata kelola asuransi di bidang konteks complaint handling atau layanan klaim harus diperbaiki juga agar masalah tidak mencuat ke mana-mana. Ini terus terang mengganggu reputasi perusahaan asuransi itu sendiri dan kami regulator berkepentingan jangan sampai ini mengganggu industri bahkan meluas ke kestabilan sistem keuangan, apalagi distrust kepada industri asuransi," kata Nasrullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel