Bisnis.com, JAKARTA - Platform teknologi finansial peer-to-peer (P2P) lending semakin mesra dengan pendana (lender) institusi, baik berbentuk lembaga keuangan maupun badan hukum selain lembaga keuangan.
Hal ini tergambar berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2021, di mana dari total outstanding industri sebesar Rp27,9 triliun, porsi dari 179.000 orang lender ritel dalam negeri hanya sebesar Rp4,98 triliun atau hanya menempati peringkat ketiga.
Peringkat pertama didominasi institusi badan hukum lain-lain dari dalam negeri sejumlah 218 entitas senilai Rp9,9 triliun. Selanjutnya, institusi badan hukum lain-lain dari luar negeri yang walaupun jumlahnya 47 entitas saja, tapi memiliki outstanding sebesar Rp6,03 triliun.
Adapun, lender institusi dari perbankan dalam negeri sebanyak 118 entitas menempati peringkat ke-4 terbesar, dengan nilai Rp3,7 triliun. Disusul lembaga jasa keuangan non-bank sejumlah 66 entitas dengan outstanding Rp1,52 triliun. Lainnya, seperti koperasi, lender ritel luar negeri, perbankan luar negeri, dan LJKNB luar negeri masing-masing hanya mengambil porsi di bawah Rp1 triliun.
Platform P2P lending klaster produktif PT Investree Radhika Jaya (Investree) menjadi salah satu pemain yang mendapati fenomena ini, di mana kontribusi lender institusi semakin membesar dan mulai mengalahkan porsi lender ritel atau perorangan.
Co-Founder & CEO Investree, Adrian Gunadi menjelaskan bahwa dari total penyaluran pihaknya sepanjang 2021 yang senilai Rp3,5 triliun, kontribusi dari lender institusi berbanding lender ritel mencapai 60:40.
"Ini memang sering membuat lender ritel yang ingin mendanai, tidak memiliki kesempatan bergabung dalam pinjaman tertentu atau yang sesuai dengan preferensinya, karena sudah keduluan atau 'diambil' lebih dulu oleh lender institusi," ujarnya kepada Bisnis, Senin (27/12/2021).
Menurut Adrian, hal ini tidak dapat dipungkiri karena nilai pinjaman yang diakomodasi Investree selalu bernominal besar, karena semuanya pinjaman produktif buat UKM. Oleh sebab itu, tak heran lender institusi lebih masif karena memiliki kekuatan dapat mendanai pinjaman bernilai besar secara lebih cepat dan tepat sasaran.
Namun demikian, Adrian mengungkap bahwa Investree tetap akan memprioritaskan pertumbuhan lender ritel secara sehat di platformnya yang kini telah menyentuh sekitar 47.000 orang. Terlebih, lender ritel memiliki preferensi yang lebih berwarna dan lebih fleksibel ketimbang lender institusi.
"Sekilas perbedaannya, lender ritel biasanya lebih condong memotivasi dirinya untuk melakukan pendanaan dengan prioritas imbal hasil, sehingga ketertarikan atau tujuannya jelas imbal hasil yang menarik. Tapi, tentu dengan tetap disesuaikan juga dengan tingkat risiko yang sesuai kehendaknya," jelasnya.
Sementara, lender institusi, tampak memiliki tanggung jawab lebih besar dan selektif ketika mendanai para peminjam (borrower), karena mereka punya persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan standar perusahaan atau organisasi mereka.
"Terlepas dari sebesar apapun imbal hasil yang ditawarkan, institusi itu harus mempertimbangkan sektor usaha dari borrower. Apakah sesuai dengan tujuan perusahaan atau tidak, diperbolehkan atau tidak, karakteristiknya juga lebih spesifik," jelasnya.
Contohnya, bagaimana atribut profil risiko borrower, sudah berapa tahun usaha borrower berdiri, ada pula lender yang menghendaki borrower memiliki dampak sosial tertentu atau tidak berada di sektor tertentu, seperti misalnya yang tidak merusak lingkungan atau tidak melanggar syariat Islam, dan lain-lain.
"Misalnya, jika lender institusi merupakan organisasi syariah, mereka juga memastikan bagaimana usaha borrower dan apakah pembiayaan tersebut berskema syariah atau tidak. Begitu pula dengan lender institusi lain yang meminta persyaratan tertentu. Sehingga, memang banyak yang harus dipenuhi dan mereka tidak semata untuk memperbesar keuntungan saja," tambahnya.
Pada akhirnya, mendanai pinjaman di Investree merupakan jalan bagi lender institusi bukan hanya untuk mengembangkan aset perusahaan, tapi juga untuk diversifikasi portofolio dan pemenuhan target dalam menyalurkan pembiayaan bagi pelaku UKM sesuai preferensi mereka.
Adapun, terkait persaingan dengan platform P2P lain dalam hal memperebutkan kesetiaan lender ritel, Adrian mengungkap pihaknya tak terlalu ambil pusing karena semua pilihan jatuh ke tangan masing-masing lender.
Namun, Adrian memang mengantisipasi potensi berpindahnya lender ritel Investree karena 'tergoda' promosi atau kampanye kompetitor yang terlihat bisa lebih menguntungkan para lender dari segi imbal hasil.
"Kami paham, kompetisi dalam industri fintech lending cukup ketat. Saya lihat hal ini [lender berpindah dari Investree] memungkinkan kalau kompetitor punya pendekatan lebih menyenangkan atau memberi manfaat lebih personal. Misalnya, bagi-bagi voucer belanja, bonus untuk mendanai tawaran pinjaman lain, dan lain sebagainya. Pasti ramai peminat bak kacang goreng," ungkap Adrian.
Oleh sebab itu, fenomena ini akan menjadi tantangan bagi tim Investree untuk terus memperbaiki dan meningkatkan promosi, serta mengusung kampanye tertentu yang bisa merangsang kesetiaan pengguna dari sisi lender.
"Apa yang dirasa sedang booming dan menarik minat lender untuk mendanai lebih banyak dan lebih sering, serta apa yang dari segi manfaat dirasa besar dan berguna bagi teman-teman lender yang melakukan pendanaan via Investree. Ke depan, kami akan terus melakukan penyesuaian dan berinovasi, agar lender bersedia melakukan pendanaan berulang pada platform kami," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel