Bisnis.com, JAKARTA -- Industri asuransi jiwa optimistis kondisi investasi pada tahun macan air akan lebih baik, meski dibayangi berbagai risiko ketidakpastian global, termasuk dampak kebijakan tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS).
Asset liability management atau pengelolaan aset dan liabilitas menjadi hal penting yang diutamakan industri dalam menghadapi risiko ketidakpastian tersebut.
Ketua Bidang Keuangan, Pajak, dan Investasi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Simon Imanto mengatakan, strategi pengelolaan investasi industri asuransi jiwa tidak terlepas dari profil liabilitas yang dimiliki perusahaan. Oleh karena itu, asset liability management menjadi kunci penting dalam mengatur strategi investasi.
"Kami percaya dampak tapering ini tidak permanen atau sementara dan kami percaya positif 2022 lebih baik. Dampak tersebut memang coba kami antisipasi. Misal, ada beberapa liabilitas jangka panjang, strategi kami tentunya asetnya jangka panjang. Tapi yang terkait cash flow, masuknya ke money market atau deposito berjangka," ujar Simon, belum lama ini.
Menurutnya, asset liability management diutamakan agar kesinambungan stabilitas arus kas dengan kewajiban klaim jatuh tempo dapat terjaga.
Berdasarkan data AAJI sampai dengan kuartal III/2021, total penempatan dana investasi mencapai Rp477,84 triliun atau naik 6,4 persen year on year (yoy).
Penempatan investasi mayoritas berada di pasar modal, yakni pada instrumen investasi reksadana sebesar 32 persen dan saham sebesar 28 persen dari total penempatan dana investasi.
Ilustrasi diversifikasi investasi/Freepik.com
Total penempatan dana pada kedua instrumen tersebut mencapai Rp285,57 triliun atau meningkat sebesar 22,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dana investasi juga banyak ditempatkan di instrumen surat berharga negara (SBN) dengan porsi sebesar 21 persen. AAJI mencatat hingga kuartal III/2021, dana investasi yang ditempatkan pada instrumen SBN meningkat 17,3 persen yoy dengan total nilai Rp98,02 triliun.
Sisanya, dana investasi ditempatkan di instrumen sukuk korporasi sebesar 8 persen, deposito 6 persen, penyertaan langsung 2 persen, bangunan dan tanah 2 persen. Selain itu, AAJI juga mengamati mulai diliriknya penempatan investasi di emas murni, yang mencapai Rp60 miliar hingga kuartal III/2021.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon menambahkan, dalam melakukan penempatan investasi, industri asuransi jiwa tidak sekedar memilih instrumen yang memberikan imbal hasil yang paling tinggi.
Namun, harus memperhatikan jangka waktu liabilitas yang dimilikinya. Oleh karena itu, strategi penempatan investasi industri asuransi jiwa tidak akan banyak mengalami perubahan.
Menurutnya, penempatan investasi akan berputar di instrumen-instrumen seperti deposito, obligasi, reksadana, dan saham yang memiliki fungsi masing-masing.
Misalnya, dia menyebut, penempatan investasi di deposito diperlukan untuk polis-polis asuransi jiwa yang segera jatuh tempo, seperti asuransi kesehatan. Kemudian, penempatan di obligasi diperlukan untuk mengantisipasi polis yang memiliki klaim jatuh tempo jangka panjang.
"Industri asuransi jiwa sangat mengharapkan ada semakin banyak pilihan yang tersedia di market Indonesia, obligasi-obligasi yang berdurasi panjang dengan rating yang bagus. Ada saham juga yang umumnya untuk mengoptimalkan yield investasi atau memang ada keputusan nasabah pemegang polis unit-link," tutur Budi.
Baca Juga : Industri Asuransi Jiwa Optimistis Tatap 2022 |
---|
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengingatkan untuk mewaspadai risiko ketidakpastian global yang sangat dinamis. Dia pun meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas untuk terus memantau resiliensi sektor jasa keuangan dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan global.
"Lingkungan global sangat dinamis. Kami lihat dalam hal ini inflasi global, tapering, itu semua membawa dimensi yang luar biasa penting di sektor keuangan. OJK sebagai regulator dan pengawas harus melihat resiliensi dan kemampuan meng-absorb shock dari perubahan lingkungan global," kata Sri Mulyani dalam Silaturahmi Virtual Tahun 2022 Baru Sektor Jasa Keuangan, Selasa (4/1/2022).
Hal itu juga sejalan dengan tema KTT G20 mengenai upaya global untuk secara bertahap mendesain exit policy. Sri Mulyani menuturkan, selama pandemi Covid-19, semua negara menerapkan kebijakan fiskal luar biasa yang tidak mungkin berjalan terus-menerus. Kebijakan extraordinary selama pandemi harus dipulihkan secara bertahap.
"Secara bertahap harus dilakukan exit yang tidak boleh merusak recovery dan tetap menjaga stabilitas sektor keuangan maupun menjaga dan melindungi masyarakat serta perekonomian. Ini kombinasi yang tidak mudah, sehingga exit policy menjadi penting," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pemaparan dalam konferensi pers Realisasi APBN 2021 di Jakarta, Senin (3/1/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha
Dia berharap pemerintah bersama OJK, Bank Indonesia, dan LPS dalam forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dapat bersinergi dalam mengawal pemulihan ekonomi secara efektif, andal, dan kredibel.
Sebelumnya, pada kesempatan terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Riswinandi mengingatkan kepada para pelaku industri keuangan non-bank untuk mengantisipasi dampak tapering. Menurutnya, kebijakan pengurangan stimulus moneter tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap pasar modal Indonesia.
"Tentu hal ini harus menjadi perhatian bagi kita semua terutama bagaimana agar dampak negatif kebijakan ini, seperti terjadinya capital outflow di pasar modal nasional kita dapat diminimalisir dengan menajamen risiko yang baik," ujar Riswinandi.
Dia menuturkan, dampak negatif tersebut perlu diantisipasi oleh para pelaku industri keuangan non-bank (IKNB), terutama industri dana pensiun dan asuransi. Hal ini mengingat sekitar 70-80 persen investasi industri dana pensiun dan asuransi berada di sektor pasar modal.
"Sehingga kondisi pasar modal secara umum akan mempengaruhi stabilitas di sektor keuangan non-bank juga," katanya.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A OJK, Ahmad Nasrullah juga menyarankan kepada para pelaku industri asuransi untuk melakukan stress test guna mengantisipasi kebijakan tapering off.
Menurutnya, implementasi kebijakan tapering AS dapat memicu terjadinya penurunan nilai aset keuangan di negara-negara berkembang. Dampak kebijakan tapering tersebut telah dirasakan oleh industri keuangan non-bank di Indonesia pada 2013 lalu, khususnya terhadap aset-aset investasi industri dana pensiun.
"Oleh karena itu, barangkali yang perlu dilakukan teman-teman di industri adalah dengan lesson learn taper tantrum yang terjadi 2013. Kemudian lakukan stress test untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan tapering off terhadap kondisi keuangan perusahaan," ujar Nasrullah.
Dia berharap hasil stress test tersebut dapat menunjukkan proyeksi seberapa signifikan dampak tapering off terhadap kondisi keuangan perusahaan. Bila berpotensi menimbulkan dampak yang signifikan, para pelaku industri perlu melakukan sejumlah hal untuk mengantisipasi dampak tapering sekaligus menjaga stabilitas keuangan perusahaannya.
"Apabila hal itu terjadi, kita harus melakukan langkah-langkah, antara lain rebalancing portofolio aset investasi atau mempersiapkan buffer dalam bentuk kebutuhan permodalan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel