Bisnis.com, JAKARTA - Statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait industri teknologi finansial pendanaan bersama alias peer-to-peer (fintech P2P) lending mengungkap utang di industri ini telah menembus Rp29,12 triliun.
Jumlah outstanding pinjaman ini merupakan capaian per November 2021, terbagi sebesar Rp24,3 triliun dipegang oleh 20,8 entitas peminjam (borrower) perorangan dan Rp4,82 triliun oleh 3.116 entitas peminjam badan usaha.
Adapun, dari sisi penyaluran pinjaman baru terkhusus November 2021, industri yang diramaikan oleh 104 pemain ini tercatat menyalurkan Rp12,97 triliun kepada 12,6 juta entitas borrower. Sebesar 63,2 persen di antaranya alias Rp8,2 triliun digunakan untuk kegiatan produktif yang notabene untuk para UMKM.
Alhasil, secara kumulatif, jumlah penyaluran pinjaman industri sepanjang tahun 2021 telah menembus Rp142,36 triliun, kemungkinan besar menembus target Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebesar Rp150 triliun apabila ditambah kinerja Desember 2021.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengungkap kepada Bisnis bahwa proyeksi penyaluran pinjaman industri di tahun ini paling tidak tumbuh 50 persen, atau merealisasikan disbursement menyentuh Rp220 triliun di akhir 2022.
Menurut Kus, proyeksi ini memungkinkan, terutama karena setiap pemain dipastikan semakin gencar melakukan strategi 'jemput bola', alias mengintegrasikan dirinya ke berbagai ekosistem digital untuk mengakomodasi UMKM di dalamnya.
"Kami yakin masih ada puluhan juta UMKM yang belum tersentuh layanan pinjaman produktif. Oleh sebab itu, setiap platform P2P lending pasti akan mencoba masuk lebih dalam ke berbagai ekosistem digital buat menjangkau mereka," ujar Kus kepada Bisnis, dikutip Senin (10/1/2022).
Langkah jemput bola inilah yang menjadi pembeda industri fintech P2P lending dengan lembaga keuangan lain yang sama-sama bergerak di bidang pembiayaan produktif buat UMKM.
Fleksibilitas inilah yang memungkinkan UMKM yang masih belia, masih berbentuk usaha milik perorangan, dalam tahap awal, dan masih berkembang, bisa mendapatkan akses permodalan dengan mudah. Terutama, yang masih membutuhkan pinjaman bernilai kecil dengan tenor singkat.
Bahkan, menurut pengamatan AFPI, pinjaman untuk UMKM tak terbatas hanya dari pemain di klaster produktif saja. Sekitar 30 persen borrower fintech P2P klaster multiguna pun tergolong UMKM, yang sebenarnya menggunakan pinjaman dana tunai yang diterimanya untuk aktivitas produktif, seperti membeli bahan baku atau membeli peralatan pendukung usaha.
Namun, syaratnya, seperti telah disinggung di atas, UMKM terkait telah masuk ke dalam ekosistem digital tertentu semacam e-commerce atau e-procurement, dan setidaknya telah melek layanan digital seperti menggunakan kasir digital, aplikasi pembukuan arus kas, atau rajin bertransaksi menggunakan alat pembayaran non-tunai.
"Beda dengan bank yang mensyaratkan pelaku usaha yang mau mengakses permodalan itu harus punya aset, sudah menembus keuntungan tertentu, atau usahanya sudah berumur 3 tahunan. Kami selaku fintech P2P lending bisa hanya berbasis kondisi cash-flow pelaku usaha. Kami lebih memudahkan mereka, asalkan dalam penilaian kami masih masuk dalam profil risiko terukur," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel