Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja ekspor produk industri pengolahan pada 2022 diperkirakan masih terganjal kendala kelangkaan kontainer dan mahalnya biaya pengapalan. Pelaku usaha berharap pemerintah bisa memitigasi hambatan ini agar pelaku usaha bisa memanfaatkan momentum pertumbuhan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan kendala ketersediaan kontainer yang terbatas dan kenaikan biaya pengapalan telah membatasi pertumbuhan produk plastik.
Data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor produk plastik tumbuh 11,13 persen dari US$2,60 miliar pada 2020 menjadi US$2,89 miliar pada 2021.
"Seharusnya pada 2021 kenaikan bisa lebih dari sekitar 10 persen. Ini karena ada kendala kontainer dan mahalnya biaya pengapalan. Kami memperkirakan 2022 masih menghadapi kendala yang sama," katanya, Selasa (18/1/2022).
Dia mengatakan rute dan frekuensi pengapalan pada 2021 cenderung terbatas karena terpusat ke China. Kendala pengapalan, lanjutnya, hanya bisa diurai jika ada mitigasi lanjutan dari pemerintah maupun kebijakan langsung dari China untuk mereposisi kontainer.
"Kontainer banyak yang menumpuk di China. Selama tidak ada rotasi, masih akan sulit bagi kami untuk mendorong ekspor," katanya.
Fajar menyebutkan hambatan di sisi logistik membuat Indonesia kesulitan memanfaatkan momentum Perang Dagang Amerika Serikat dan China. Dia menyebutkan permintaan dari negara-negara afilisasi Amerika Serikat cenderung meningkat karena pengusaha mengalihkan pasokan dari negara dengan bea masuk yang lebih rendah.
"Ini momentum karena dari sisi produksi kita tidak terimbas cukup besar dari kenaikan energi seperti di banyak negara lain. Oleh karena itu kami harap dari iklim usaha tidak ada kendala energi serupa," kata dia.
Terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memperkirakan volume ekspor produk sawit akan lebih tinggi daripada 2021, seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi. Dia mengatakan 85 persen produk yang diekspor telah berbentuk produk olahan.
"Tahun 2021 kinerja produksi kurang memuaskan, semoga 2022 ada peningkatan yang cukup baik. Ekspor masih akan didominasi produk olahan, mungkin bisa 85 persen olahan," katanya.
Sebagaimana dirasakan oleh sektor lain, Joko mengatakan ekspor produk sawit juga menghadapi tantangan logistik. Dia mengatakan biaya pengapalan cenderung naik meski ekspor produk minyak sawit tidak banyak tergantung dengan ketersediaan kontainer.
Sebelumnya, perwakilan Gapki di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2021 memperkirakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) masih bertahan di atas US$1.000 per ton pada 2022. Harga yang stabil tinggi didorong oleh naiknya permintaan, sementara produksi diramal tumbuh lebih rendah.
Produksi CPO Indonesia diramal naik 2,95 persen dari 46,62 juta ton pada 2021 menjadi 48 juta ton pada 2022. Jika ditambah dengan produksi minyak kernel sawit (crude palm kernel oil/CPKO), total pasokan naik dari 51,11 juta ton menjadi 52,68 juta ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel