Produsen Tahu-Tempe Tidak Takut Omicron

Bisnis.com,18 Jan 2022, 11:53 WIB
Penulis: Reni Lestari
Perajin membuat tempe berbahan baku kedelai impor yang kini harganya naik dari Rp9.600 menjadi Rp10.300 per kilogram di sentra perajin tempe di Sanan, Malang, Jawa Timur, Selasa (11/1/2022). /Antara Foto-Ari Bowo Sucipto

Bisnis.com, JAKARTA — Prediksi puncak kasus Covid-19 varian Omicron di Indonesia pada pertengahan Februari hingga awal Maret 2021 dipercaya tak akan menyurutkan permintaan tempe dan tahu. Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) menyatakan sumber protein nabati tersebut akan tetap dicari meski dalam situasi pembatasan.

Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifudin mengatakan, sayangnya hal tersebut tidak berbanding lurus dengan kemampuan pengrajin dalam menumbuhkan volume produksi. Mahalnya harga bahan baku dan bahan pendukung menjadi persoalan utama.

"Tempe dan tahu itu adalah makanan sehat dan murah, sehingga sesungguhnya masyarakat mencari itu. Cuma karena memang bahan dasarnya kedelai, dan pengusaha tempe dan tahu adalah pengrajin kecil, UMKM, sehingga produksinya terbatas," ujar Aip saat dihubungi Bisnis, Selasa (18/1/2022).

Produksi tahu tempe yang diukur dari volume konsumsi bahan baku kedelai dieprcaya akan turun pada tahun ini menjadi sekitar 2,55 juta ton. Dari angka tersebut, serapan bahan baku kedelai impor diperkirakan sebesar 2,25 juta ton, sedangkan bahan lokal stagnan di angka 300.000 ton.

Selain harga bahan baku yang melambung, Aip juga mengeluhkan semakin turunnya kontribusi kedelai lokal pada produksi tahu dan tempe nasional. Penurunan yang konsisten terjadi dalam setidaknya tiga tahun terakhir, dari yang awalnya 500.000 ton kini menjadi 300.000 ton.

"Walaupun masih untung, kedelainya tetap ada walaupun lebih mahal. Kedelainya tetap ada sehingga masih tetap bisa berproduksi," jelasnya.

Penurunan serapan produktivitas kedelai lokal ditengarai karena banyaknya petani yang beralih menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan. Sementara produksi kedelai terus menyusut, tidak akan inovasi teknologi pertanian yang memungkinkan produktivitas terkerek.

"Contoh kedelai di Amerika Serikat, satu hektar bisa menghasilkan empat ton. Kalau di Indonesia karena masih tradisional, satu hektar hanya menghasilkan 1,5 ton, maksimal dua ton," ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini