Bisnis.com, JAKARTA – Diberlakukannya kebijakan pengurangan likuiditas atau tapering dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) untuk perbankan mulai 1 Maret 2022 dinilai akan memengaruhi suku bunga kredit.
Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) Daniel Budirahayu mengatakan kenaikan GWM tidak akan memengaruhi perbankan dalam menyalurkan kredit karena loan to deposit (LDR) dinilai masih cukup rendah. Namun, hal ini bisa berimbas pada kenaikan suku bunga kredit.
“Tetapi, [kenaikan GWM] akan berdampak terhadap kenaikan suku bunga kredit karena cost of money yang meningkat,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/1/2022).
Daniel juga menilai pembelian Surat Berharga Negara (SBN) akan sedikit terpengaruh apabila likuiditas perbankan terserap untuk penyaluran kredit. Meski demikian, penyaluran kredit disebut masih memerlukan waktu, sehingga tidak langsung berpengaruh pada pembelian SBN.
Sebagaimana diketahui, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis (20/1) menaikkan GWM bagi sektor perbankan secara gradual hingga September 2022 sebesar 6,50 persen. Ini mengindikasikan bahwa BI mulai memperketat likuiditas uang yang beredar di pasar.
Kebijakan pengetatan GWM dilakukan secara bertahap mulai 1 Maret 2022 hingga 1 September 2022. Pada tahap awal, GWM dinaikan 150 basis poin (bps) sehingga menjadi 5 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rata-rata sebesar 4 persen.
Selanjutnya, kenaikan 100 bps menjadi 6 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rerata sebesar 5 persen berlaku mulai 1 Juni 2022.
Terakhir, kenaikan 50 bps sehingga menjadi 6,5 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rata-rata sebesar 5,5 persen bakal berlaku mulai 1 September 2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kebijakan bank sentral ini tidak akan mengganggu kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit dan membeli SBN dalam rangka mendukung pembiayaan APBN.
Hal ini dikarenakan likuiditas di perbankan masih sangat longgar, tercermin dari rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang tinggi mencapai 35,12 persen pada Desember 2021.
Posisi rasio AL/DPK tersebut kata Perry jauh lebih tinggi dibandingkan dengan posisi AL/DPK sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai 23 persen.
Dia memperkirakan, dengan kebijakan normalisasi GWM, rasio AL/DPK perbankan akan mengalami penurunan hingga menjadi sekitar 30 persen.
“Hingga kuartal III tahun ini, dengan kenaikan GWM tentu saja alat likuid dari perbankan akan turun, penyerapan likuiditasnya kurang lebih sekitar Rp200 triliun, [kenaikan GWM dilakukan] secara bertahap,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel