Bankir Menilai Kenaikan GWM Tak Akan Pengaruhi Penyaluran Kredit

Bisnis.com,21 Jan 2022, 22:12 WIB
Penulis: Dionisio Damara
Petugas teller menata uang rupiah di salah satu cabang Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Diberlakukannya kebijakan pengurangan likuiditas atau tapering dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) untuk perbankan mulai 1 Maret 2022 dinilai tak akan memengaruhi penyaluran kredit bank pada tahun ini.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan GWM bagi sektor perbankan secara gradual hingga September 2022 sebesar 6,50 persen. Ini mengindikasikan bahwa BI mulai memperketat likuiditas uang yang beredar di pasar.

Kebijakan pengetatan GWM dilakukan secara bertahap mulai 1 Maret 2022 hingga 1 September 2022. Pada tahap awal, GWM dinaikan 150 basis poin (bps) sehingga menjadi 5 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rata-rata sebesar 4 persen.

Selanjutnya, kenaikan 100 bps menjadi 6 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rerata sebesar 5 persen berlaku mulai 1 Juni 2022.

Terakhir, kenaikan 50 bps sehingga menjadi 6,5 persen dengan pemenuhan secara harian sebesar 1 persen dan secara rata-rata sebesar 5,5 persen bakal berlaku mulai 1 September 2022.

Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk. Daniel Budirahayu mengatakan kebijakan tersebut tidak akan memengaruhi penyaluran kredit. Hal ini disebabkan loan to deposit (LDR) perbankan dinilai masih cukup rendah.

“Tidak sampai memengaruhi perbankan dalam menyalurkan kredit dikarenakan LDR perbankan masih relatif rendah, tetapi akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit karena cost of money yang meningkat,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/1/2022).

Sementara itu, Daniel menilai pembelian Surat Berharga Negara (SBN) akan sedikit terpengaruh apabila likuiditas perbankan terserap untuk penyaluran kredit. Meski demikian, penyaluran kredit disebut masih memerlukan waktu, sehingga tidak langsung berpengaruh pada pembelian SBN.

Lani Darmawan, Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk. juga menilai likuiditas di pasar masih cukup bagus, sehingga tidak akan mengancam pertumbuhan kredit dari perbankan. Pada 2022, perseroan memperkirakan pertumbuhan kredit berada di kisaran 6 – 8 persen.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. Yuddy Renaldi. Dia menyebutkan likuiditas perbankan masih cukup aman. Likuiditas perseroan, misalnya, disebut masih memadai dan kenaikan GWM bakal dapat dipenuhi dari ekses likuiditas yang ada.

“Untuk porsi yang dialokasikan untuk pembelian SBN oleh perbankan mungkin akan berpengaruh, tetapi tidak signifikan. Demikian juga terhadap suku bunga kredit,” pungkasnya.

Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Aestika Oryza Gunarto menyatakan perseroan akan tetap menjaga keaktifan dalam optimalisasi likuiditas lewat instrumen surat berharga sebagai salah satu investasi dengan risiko terukur.

Menurutnya, sebagai salah satu bank dengan aset kelolaan terbesar di Indonesia, BRI akan mempertahankan market share surat berharga pada kisaran 15 persen – 20 persen baik di pasar perdana maupun pasar sekunder.

Selain itu, BRI juga akan terus berkomitmen untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional, melalui peningkatan pembiayaan pada sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai core strength.

Aestika mengemukakan emiten bank dengan sandi BBRI itu memiliki likuiditas yang ample dengan LDR berada di level 83 persen, sehingga masih ada ruang penyaluran kredit dan pembiayaan pada sektor riil.

“Dengan didukung kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui penerapan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial [RPIM] dan penguatan kebijakan transparansi SBDK, maka strategi ekspansi masih menjadi salah satu prioritas utama perbankan pada 2022,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin berpendapat perbankan sudah cukup siap dalam menghadapi tapering, sehingga kenaikan GWM tidak berdampak signifikan terhadap penyaluran kredit atau pembelian SBN.

Menurut Amin, secara umum kenaikan bertahap yang dimulai pada 1 Maret mendatang bertujuan menekan likuiditas, menahan laju kredit, dan menekan jumlah uang beredar yang berefek ke inflasi.

“Namun, perlu dilihat pula lebih kepada untuk kepentingan terkait dengan kredit. Supaya Bank yang sudah siap-siap akan ekspansi sedikit menahan dan menjaga prudential banking dengan baik. Jadi, diharapkan tetap tumbuh dengan kualitas yang lebih baik,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Azizah Nur Alfi
Terkini