Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia menghadapi sejumlah kendala dalam mendorong ekspor produk hasil penghiliran komoditas. Keikutsertaan dalam rantai nilai global yang masih rendah menjadi pemicunya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mencatat partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global atau global value chain (GVC) hanya 37,1 persen atau di bawah rata-rata negara berkembang 41,4 persen ari total ekspor. Sementara itu, data WTO memperlihatkan partisipasi produk pertanian dalam GVC hanya 9,2 persen.
"Masih banyak pekerjaan untuk mendorong penghiliran. Contohnya untuk produk hasil CPO, perlu lebih banyak ekspor dalam bentuk olahan makanan atau kosmetik," katanya, Minggu (23/1/2022).
Penghiliran yang lebih komprehensif juga diperlukan oleh komoditas pertambangan. Sebagai contoh, produk nikel seharusnya keluar dari kawasan industri dalam bentuk baterai siap pakai untuk kebutuhan mobil listrik.
"Dan untuk bauksit misalnya diekspor minimal dalam bentuk aluminium," katanya.
Dia mengatakan insentif untuk penghiliran baru sebatas kehadiran kawasan ekonomi khusus yang diwarnai keluhan soal pasokan bahan baku yang tidak stabil. Bhima menyebutkan masih ada ketidakseimbangan pasokan bahan baku dan kebutuhan industri manufaktur di Tanah Air.
Bhima mengemukakan kebutuhan substitusi bahan baku impor yang makin mendesak tahun ini. Gangguan logistik yang membuat biaya bahan baku impor naik signifikan, serta volatilitas nilai tukar akibat kebijakan tapering off akan menjadi faktor pendorong industri mencari alternatif bahan baku didalam negeri.
"Pertanyaannya, apakah pemasok di dalam negeri siap dengan standar kualitas yang tinggi. Di sini harusnya pemerintah menjadi jembatan, dengan menghubungkan pemasok bahan baku lokal dengan pemain industri," kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel