Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan rintisan di sektor finansial (startup fintech) masih menjadi sorotan utama investor dan modal ventura, demi mengantisipasi dimulainya tren embedded finance alias layanan keuangan terintegrasi.
Vice President of Investments MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto mengatakan menjelaskan bahwa hal ini beriringan dengan iklim bisnis fintech di Indonesia yang akan lebih banyak bersinggungan dengan perusahaan atau startup non-finansial.
"Platform fintech yang sudah eksis akan lebih banyak berperan sebagai enabler. Mereka mulai menjadi embedded fintech, atau masuk sebagai bagian dari sebuah ekosistem besar. Misalnya, dari pemain B2B marketplace, agrikultur, dan logistik, itu sudah ada yang mulai berminat menghadirkan layanan finansial sendiri," jelasnya kepada Bisnis, Senin (24/1/2022).
Menurut Aldi, salah satu klaster fintech yang masih kuat dalam berhubungan langsung dengan end-user hanyalah wealth-management atau personal finance. Adapun, klaster lain seperti pinjam-meminjam (lending), asuransi, dan layanan pembayaran, dinilai akan bertumbuh pesat tergantung dari ekosistem yang bisa dibidiknya.
Artinya, besar kemungkinan di antara para perusahaan atau startup non-finansial mulai berpikir untuk mencaplok fintech. Terutama, mereka yang sudah menyediakan layanan finansial dari pihak ketiga, kemudian melihat dan merasakan sendiri bagaimana moncernya cuan dari produk keuangan.
Sebab itu, investor dan modal ventura masih terbuka untuk menanamkan dananya di platform fintech, menilik strategi exit yang lebih beragam karena turut diramaikan potensi merger dan akuisisi.
"Ini sebenarnya bukan fenomena baru, tapi kembali seperti zaman dahulu di mana banyak konglomerat berambisi punya bank, padahal core-business mereka awalnya bukan layanan finansial. Hanya saja, kondisinya saat ini berbeda, layanan finansial yang dibidik pun lebih disesuaikan dengan kebutuhan ekosistem masing-masing perusahaan atau startup tersebut," tambahnya.
Secara umum, fintech pun merupakan sektor paling fleksibel dalam hal memupuk valuasi. Mereka bisa memilih apakah ingin menjadi besar secara mandiri, atau memilih menjadi bagian pengembangan bisnis sebuah entitas non-finansial.
Aldi menyebutkan ada tiga kemungkinan yang bisa dicapai oleh suatu fintech untuk menjadi perusahaan rintisan raksasa. Pertama, membangun kapabilitas untuk memperbesar dan memperluas layanan finansial dengan segmen pengguna yang spesifik.
"Kemungkinan pertama ini membuka peluang fintech bersatu dengan fintech lain, atau mengurus lisensi menyediakan produk yang berbeda dari sebelumnya. Misalnya, kalau tadinya hanya memberikan pinjaman, ke depan meluas seperti menyediakan investasi dan sebagainya. Bahkan, sudah ada fintech yang mampu membeli bank. Ini contoh fintech yang memilih fokus ke sektor finansial secara penuh," jelas Aldi.
Kedua, fintech bisa mulai membangun produk non-finansial yang masih berhubungan dengan segmen pengguna sebelumnya. Hanya saja, pilihan ini kebanyakan hanya dipertimbangkan oleh brand fintech yang sudah dikenal masyarakat dan memiliki basis pengguna lumayan.
"Misalnya, di portofolio MDI Ventures ada namanya KoinWorks, sebelumnya hanya P2P lending sektor produktif. Setelah mulai banyak UKM menjadi borrower [penerima pinjaman], platform melihat peluang bisnis dari produk lain yang bisa disediakan dan berguna buat mereka. Keluarlah ide membangun solusi bisnis, supaya pembukuan dan pencatatan keuangan UKM lebih rapi," ujarnya.
Adapun, kemungkinan terakhir, sebuah platform fintech tinggal terus berusaha memperluas pangsa pasar, kemudian menunggu kemungkinan adanya perusahaan atau startup di sektor lain yang menyatakan berminat mencaploknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel