Harga Minyak Goreng Tak Terbendung di Pasaran, PKS: Lantas Apa Fungsinya Negara?

Bisnis.com,19 Mar 2022, 13:18 WIB
Penulis: Setyo Puji Santoso
Konsumen melihat stok minyak goreng aneka merek tersedia di etalase pasar swalayan Karanganyar pada Kamis (17/3/2022)/ Solopos.com-Indah Septiyaning Wardani.

Bisnis.com, JAKARTA - Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin, menyesalkan kebijakan pemerintah yang justru mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.

Pasalnya, dengan kebijakan tersebut justru membuat masyarakat semakin menderita akibat harga minyak goreng melambung di pasaran. Terlebih, ekonomi masyarakat belum pulih akibat pandemi.

“Lantas apa fungsi negara kalau sudah begini,” ungkap Akmal dalam keterangan resminya seperti dikutip Bisnis, Sabtu (19/3/2022).

Menurutnya, harga minyak goreng curah memang terpantau tetap di angka Rp14 ribu per liternya. Namun untuk minyak goreng dalam kemasan kenaikannya bisa mencapai dua kali lipat di pasaran atau Rp24 ribu per liter. Hal itu akibat pemerintah menyerahkannya kepada mekanisme pasar atau pencabutan HET.

Kondisi itu dinilai membuat masyarakat semakin menderita, karena minyak goreng hampir digunakan setiap hari oleh masyarakat untuk mengolah bahan makanan rumah tangga.

“Rakyat kita ini sudah susah, ekonomi jatuh akibat pandemi, pengelolaan uang negara yang serba darurat dan semua kebijakan tidak ada yang memberi solusi jangka pendek dan menengah. Rakyat akan merasa diperas keuangan rumah tangganya, karena membeli minyak goreng dengan keterpaksaan,” tutur Akmal.

Menyikapi hal itu, pihaknya meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi secara keseluruhan.

Akmal mengatakan, menteri perdagangan hanya secuil aktor pengendali komoditas pangan. Ia menambahkan, di dalamnya ada Menteri Koordinator Perekonomian, ada Menteri Keuangan yang dibawahnya ada BPDPKS (Badan pengelola dana kelapa sawit), ada Menteri Pertanian sebagai lembaga yang memastikan produksi, ada Bulog sebagai lembaga stabilisator dan penyangga pangan, dan masih banyak lagi sebagai aktor-aktor pengambil keputusan terkait komoditas pangan ini.

“Intinya pemerintah mesti ber evaluasi diri secara keseluruhan. Karena bagaimana mungkin 58% penghasil minyak sawit dunia yang merupakan terbesar, tapi rakyatnya menghadapi krisis minyak goreng. Sudah tidak ada keberkahan di negeri ini," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Setyo Puji Santoso
Terkini