Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti persaingan harga di lini bisnis asuransi umum yang memiliki tingkat kompetisi tinggi. Persaingan harga cenderung membuat kecukupan premi tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung perusahaan asuransi.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Hastanto Sri Margi (HSM) Widodo menilai persaingan harga tidak terjadi di lini bisnis properti dan kendaraan bermotor yang menjadi kontributor utama industri. Hal ini karena tarif premi pada kedua lini bisnis tersebut telah diatur regulasi.
"Yang ada mungkin persaingan di marketing cost join promo dan engineering fee terkait suatu penutupan. Kedua hal tersebut pada akhirnya menurunkan perolehan effective premi untuk perusahaan sementara tidak menurunkan besaran pembetukan cadangan yang harus dibentuk," ujar Widodo kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Namun, ia tak menampik bahwa persaingan harga terjadi di lini bisnis asuransi kredit. Persaingan harga ini membuat premi yang dibayarkan pemegang polis tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung perusahaan.
Ia menilai sistem pricing pada asuransi kredit nantinya dapat lebih baik bila perusahaan asuransi telah menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK 74 yang akan mulai berlaku di 2025. PSAK 74, yang merupakan adopsi dari International Financial Accounting Standard (IFRS) 17, akan mengubah mekanisme pelaporan keuangan.
"Dengan konsep insurance service revenue dari penurunan liability of remaining coverage, tentunya perusahaan asuransi tidak akan mau atau bisa menerima premi penutupan yang besarannya di bawah liability yang mungkin ada. Karena sekiranya terjadi PSAK 74 menyatakan bahwa biaya terkait pemburukan risiko langsung harus dibukukan pada saat itu juga," katanya.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi menyoroti masih lemahnya proses underwriting atau identifikasi dan seleksi risiko oleh perusahaan asuransi di Indonesia.
Kelemahan dalam menjalankan proses underwriting salah satunya ditunjukkan dengan adanya kondisi di mana risiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi tidak sebanding dengan premi yang dibayarkan oleh pemegang polis.
"Hal ini seringkali terjadi pada lini usaha tertentu yang tingkat kompetisinya cenderung lebih tinggi, seperti asuransi kendaraan bermotor dan asuransi kredit," ujar Riswinandi dalam sebuah webinar, Jumat (25/3/2022).
Menurutnya, intensitas persaingan usaha pada lini usaha asuransi umum tersebut kemudian memaksa perusahaan asuransi untuk bersaing dengan menetapkan premi yang lebih rendah dari kompetitiornya.
"Akibatnya apabila berlangsung secara terus-menerus kondisi ini akan dapat menggerus permodalan dari perusahaan asuransi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel