Menilik Dampak Pengenaan PPN Jasa Agen dan Broker untuk Perusahaan Asuransi

Bisnis.com,12 Apr 2022, 13:35 WIB
Penulis: Denis Riantiza Meilanova
Ilustrasi asuransi/mhibroker.com

Bisnis.com, JAKARTA--Regulasi mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi dinilai akan membebani perusahaan asuransi. Meski demikian, pelaku usaha berupaya agar ketentuan baru tersebut tidak berimbas pada kenaikan tarif premi asuransi.

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi yang ditetapkan pada 30 Maret 2022 dan mulai berlaku pada 1 April 2022.

Ada tiga pokok pengaturan dalam beleid turunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tersebut. Pertama, sebagai pemungut PPN, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi wajib melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas pembayaran komisi jasa agen asuransi dan jasa pialang asuransi/reasuransi.

Kedua, PPN dipungut dengan besaran tertentu. Untuk agen asuransi, yaitu 10 persen x tarif PPN Pasal 7 (1) UU HPP atau 1,1 persen dikali komisi/fee. Sedangkan untuk broker atau pialang asuransi/reasuransi adalah 20 persen x tarif PPN Pasal 7 (1) UU HPP atau 2,2 persen dikali komisi/fee.

Ketiga, penyederhanaan administrasi untuk agen asuransi, agen asuransi wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan kemudian dianggap telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), tidak wajib e-faktur, dan tidak melaporkan SPT Masa PPN.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bern Dwyanto mengatakan, akan ada sejumlah penyesuaian yang harus dilakukan oleh perusahaan asuransi berkaitan dengan berlakunya PMK Nomor 67/PMK.03/2022.

"Sehubungan dengan terbit dan berlakunya PMK Nomor 67/PMK.03/2022, terdapat beberapa penyesuaian baik pada sisi administrasi, sistem, maupun biaya yang akan menjadi beban bagi perusahaan asuransi," ujar Bern kepada Bisnis, pekan lalu.

Meski menimbulkan beban, kata Bern, AAUI dan perusahaan anggotanya akan mengupayakan agar tarif premi yang dikenakan kepada konsumen masih dalam tingkat yang wajar.

"Namun demikian, atas kondisi tersebut diatas, kami tetap akan mengusahakan agar senantiasa dapat memberikan perlindungan optimal kepada konsumen dengan pengenaan premi yang wajar," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman memandang penerapan aturan baru tersebut akan membuat perusahaan asuransi cukup tertatih-tatih untuk melakukan penyesuaian di awal. Hal ini karena jumlah agen asuransi di industri jumlahnya mencapai hampir 1 juta orang, di mana 250.000 lebih diantaranya adalah agen asuransi syariah.

Erwin menilai, penyesuaian untuk penerapan aturan tersebut tidak mudah, apalagi ada perusahaan yang memiliki lebih dari ratusan ribu agen.

"Di awal kami memandang akan terjadi sebuah 'cegukan' dengan penerapan peraturan baru ini. Yang terdekat adalah bahwa semua agen harus mempunyai NPWP dan setiap perusahaan harus melaporkan potongan pajak dari orang per orang," tutur Erwin kepada Bisnis.

Dia mengatakan, AASI berempati dengan kondisi yang akan dialami oleh anggotanya tersebut. Meski demikian, asosiasi akan mendorong semua perusahaan anggota untuk taat azas atas peraturan yang berlaku.

"Kami di asosiasi berusaha menjembatani kondisi ini," kata Erwin.

Selain menjadi beban administratif, menurutnya, pengenaan PPN tersebut juga akan mengurangi hak para penyedia jasa perantara, yakni pialang atau agen asuransi.

Terkait dengan dampak pengenaan PPN terhadap perubahan tarif premi asuransi, Erwin menilai hal tersebut tidak mudah terjadi di bisnis asuransi umum. Dia mengatakan, tarif premi dan besaran komisi atau fee bagi jasa perantara di beberapa lini usaha asuransi umum telah diatur peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Berbeda dengan bisnis asuransi jiwa yang tidak diatur tarifnya. Erwin berharap pengenaan PPN ini tidak berimbas pada kenaikan tarif premi, terutama untuk perusahaan asuransi yang kontribusi pendapatan preminya ditopang oleh kanal distribusi keagenan.

"Bagi asuransi jiwa yang tarif tidak diatur, apalagi yang agency driven, kami berharap tidak terjadi kenaikan tarif karena ujungnya membebani pemegang polis," kata Erwin.

Sementara itu, Perkumpulan Agen Asuransi Indonesia (PAAI) menyatakan ketentuan PMK Nomor 67/PMK.03/2022 telah sesuai dengan harapan dan memberikan kejelasan bagi agen asuransi.

Ketua Bidang Investasi dan Perpajakan PAAI Henny E Dondocambey mengatakan, besaran PPN yang dikenakan sudah sesuai dengan usulan PAAI yang menginginkan besaran PPN 1 persen.

"Jika tarif PPN sebelum tarif sebesar 11 persen usulan kami adalah kontribusi PPN 1 persen, tetapi karena PMK tersebut dikeluarkan bersamaan dikeluarkannya peraturan PPN 11 persen, saya sudah menghitung pasti akan menjadi 1,1 persen. Jadi dengan adanya peraturan tersebut, saya pikir sudah sesuai dengan harapan kami hanya selisih 0,1 persen," kata Henny kepada Bisnis.

PAAI pun tengah melakukan sosialisasi aturan baru tersebut kepada seluruh anggota PAAI di seluruh Indonesia untuk memberikan pemahaman yang kuat tentang dasar aturan dikeluarkannya PMK tersebut. Salah satu upaya sosialisasi dilakukan dengan menggelar seminar terbatas di Bali pada 10-12 April 2022.

“Perjuangan PAAI selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil dengan aturan PPN yang lebih baik bagi profesi agen asuransi,” kata Ketua Umum PAAI Lucia Wenny melalui keterangan tertulisnya, Senin (11/4/2022).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Azizah Nur Alfi
Terkini