Bisnis.com, JAKARTA - Industri pembiayaan (multifinance/leasing) tampaknya mulai kembali seperti sebelum pandemi, ditinjau dari sisi kemampuan dalam mencetak cuan.
Berdasarkan statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Februari 2022 alias dua tahun berselang sejak awal pandemi melanda Indonesia, aset industri yang kini diramaikan oleh 162 pemain ini memang belum pulih betul.
Terutama akibat tren penurunan piutang pembiayaan, seiring lesunya permintaan kredit, serta kondisi perekonomian yang memaksa debitur eksisting untuk mundur, memilih melego barangnya untuk melunasi cicilan.
Terkini, aset industri per Februari 2022 senilai Rp439,32 triliun. Sebagai perbandingan, setahun sebelumnya bernilai Rp447,92 triliun, sementara pada Februari 2020 masih sebesar Rp518,26 triliun.
Namun, apabila dilihat dari kinerja laba-rugi dan rasio-rasio pembentuknya, kondisi industri telah mulai pulih.
Akumulasi laba bersih setelah pajak (NPAT) industri pada tutup buku 2021 mencapai Rp15,28 triliun. Kendati nilai ini belum menyamai kinerja NPAT periode 2019 senilai Rp18,13 triliun, tapi setidaknya telah menembus dua kali lipat dari tutup buku periode pandemi yang hanya senilai Rp7,02 triliun.
Begitu pula Return on Asset (ROA) alias rasio laba terhadap aset yang pada Februari 2022 kembali ke level rata-rata sebelum adanya pandemi Covid-19, yaitu 4,82 persen. Sebagai gambaran, ketika pandemi masuk Indonesia, ROA industri langsung turun ke 4,5 persen dan sempat menemui titik terendah di 1,51 persen pada Februari 2021.
Return on Equity (ROE) atau rasio laba bersih terhadap total ekuitas juga beriringan. Pada Maret 2020 masih 12,47 persen, kemudian anjlok hanya 3,86 persen per Februari 2021, sampai akhirnya saat ini telah kembali ke 12,04 persen. Adapun, pada periode normal, ROE industri leasing bisa berada di kisaran 14,5 persen.
Terakhir, profitabilitas yang pulih juga yang tampak dari rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang biasanya berkisar 79 persen pada periode normal, kini tercatat menyentuh 78,48 persen per Februari 2022.
Sebagai gambaran, BOPO industri sempat membengkak ke 80 persen - 90 persen selama periode pandemi, bahkan sempat menyentuh 92,5 persen pada Juni 2020. Dalam fase ini, potensi cuan hanya bisa diraup tipis-tipis, terutama dampak tuntutan peningkatan beban pencadangan akibat meningkatnya profil risiko debitur.
Apabila tren pemulihan ekonomi terus berlanjut, bukan tak mungkin tahun ini industri pembiayaan sepenuhnya kembali memiliki kemampuan sebagai pundi-pundi cuan seperti sedia kala, sebelum era pandemi Covid-19.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengungkap pihaknya optimistis industri pembiayaan di Tanah Air akan kembali bangkit pada periode ini.
Buktinya, OJK masih memasang target optimistis buat piutang pembiayaan industri pada akhir tahun nanti, yaitu tumbuh 12 persen (year-on-year/yoy) dari capaian Desember 2021 senilai Rp364,23 triliun.
Bambang pun mengungkap bahwa potensi cuan ini pula yang membuat industri masih memiliki prospek positif, di mata para pemain, pemilik atau pengendali, maupun investor.
Oleh sebab itu, tak heran apabila banyak entitas yang masih kepincut memiliki lisensi multifinance lewat mencaplok perusahaan-perusahaan eksisting, dalam rangka ikut meramaikan bisnis pembiayaan di Tanah Air.
"Ada beberapa entitas, luar maupun dalam negeri yang sedang melakukan penjajakan mengambil multifinance. Kami melihatnya positif, asalkan mereka memiliki komitmen dan kemampuan. Selain itu, kami juga akan memastikan bahwa entitas terkait punya reputasi kinerja keuangan yang kuat," jelasnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Namun, Bambang juga mengingatkan bahwa masih ada segelintir multifinance yang masih mendapatkan tantangan berat akibat sisa-sisa efek pandemi, sehingga terlihat kurang sejalan dengan gambaran industri secara umum.
Tantangan tersebut, di antaranya ketidakpastian kondisi perekonomian, kondisi keuangan yang belum stabil buat segmen debitur di sektor-sektor sensitif terdampak efek pandemi, serta kondisi pendanaan dari pinjaman perbankan yang belum sepenuhnya normal buat multifinance kecil dan independen.
"Semua ini mengakibatkan masih adanya fluktuasi tekanan likuiditas pada beberapa perusahaan. Beberapa di antara mereka pun berpotensi terdampak, terutama berkurangnya kemampuan mereka dalam membayar kewajiban kepada para pendana, yaitu bank atau pemegang surat utang," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel