Perang Rusia-Ukraina, Harga CPO Bakal Bertahan Tinggi hingga Juni 2022

Bisnis.com,18 Apr 2022, 15:51 WIB
Penulis: Annasa Rizki Kamalina
Pekerja memanen kelapa sawit di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Bisnis.com, JAKARTA – Center of Reform on Economics (Core) memprediksi harga crude palm oil atau CPO akan tertahan di kisaran 6.000 ringgit per ton hingga Juni 2022 dan baru akan turun pada semester II/2022.

Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal melihat konflik Rusia-Ukraina yang masih terjadi diproyeksikan masih menjadi sentimen yang akan mengerek naik harga CPO.

“Sinyal turun akan ada di semester kedua, sampai dengan Juni 2022 saya rasa masih segitu. Untuk naik lagi kemungkinannya kecil, turun tajam juga nggak. Paling tidak dia stabil atau sedikit turun,” ujar Faisal, Senin (18/4/2022).

Faisal mengungkapkan sebelumnya Core telah memprediksi harga CPO akan turun pada semester II 2022. Apabila sesuai dengan skenario Core, harga CPO akan turun akan terjadi pada semester II dan harga akan berada pada kisaran kurang lebih 6.000-an ringgit Malaysia hingga Juni 2022.

Merujuk data Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), sejak awal April 2022 harga terlihat fluktuatif tetapi cenderung naik. 

Sementara berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) tercatat pada 14 April 2022 berada di angka 6.564 ringgit per ton.

Menurut Faisal, konflik yang terjadi berdampak secara tidak langsung dengan mempengaruhi barang komoditas substitusi CPO seperti kedelai, rapeseed, dan canola sehingga harga CPO menjadi lebih mahal.

“Dampak tidak langsung itu karena konflik ini mempengaruhi semua komoditas yang diproduksi kedua negara tersebut. Negara lain mencari sumber komoditas yang lebih murah sehingga beralih ke CPO,” lanjut dia.

Terkait dengan pengaruh kenaikan harga CPO terhadap harga minyak goreng di Indonesia, ia memperkirakan harga minyak goreng masih akan bertahan tinggi karena tingginya harga CPO dan permasalahan distribusi yang belum terkendali. Persoalannya, meski suplai dikatakan baik, tetapi masalah distribusi belum terselesaikan hingga saat ini.

“Permasalahan di bottleneck, di distribusi, mekanisme supply demand-nya nggak jalan menyebabkan distribusi tidak efektif. Sepanjang itu tidak selesai, misal pemerintah menyerah terhadap mafia, padahal masalahnya disitu, susah turun ke HET,” ungkap Faisal.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini