Kejagung Tetapkan Tersangka Suap Ekspor Minyak Goreng, Bukan Mafia Sebenarnya?

Bisnis.com,20 Apr 2022, 23:03 WIB
Penulis: Indra Gunawan
Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan keterangan saat penetapan tersangka mafia minyak goreng di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (19/4/2022). Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dugaan permufakatan antara pemohon dengan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor minyak goreng./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Penetapan tersangka kepada tiga pelaku usaha minyak kelapa sawit diragukan akan memberi pengaruh terhadap harga dan ketersediaan minyak goreng di pasaran.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan penetapan tiga tersangka dari pimpinan perusahaan besar itu merupakan mata rantai terkecil sengkarut minyak goreng.

“Yang dijadikan tersangka itu bukan mafia yang sebenarnya, tapi itu masih sebagian kecil. Karena mata rantainya banyak dari hulu ke hilir, kemudian yang mengatur minyak juga banyak sektor dari pertanian, perdagangan, dan perindustrian. Ini memang cukup rumit minyak goreng ini,” ujar Heri kepada Bisnis, Rabu (20/4/2022).

Ketiga petinggi di perusahaan minyak yang dijadikan tersangka yakni Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan General Manager PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.

Menurut Heri, adanya kasus mafia minyak goreng yang terungkap itu memang harusnya memberikan dampak. Tetapi pada kenyataannya harga minyak goreng dan antrian untuk memperoleh komoditas itu masih terjadi.

“Jika tidak memberikan dampak artinya masalahnya bukan di sini," jelasnya.

Terkait tata kelola minyak goreng, dia mengatakan pemerintah harus mulai menyasar masalah yang di sektor hulu atau produksi. Sebab, kata dia, selama ini kebijakan pemerintah hanya terjadi pada sektor konsumsi saja.

“Meskipun pemerintah sudah gonta-ganti kebijakan tapi belum juga menyelesaikan masalah minyak goreng ini. Misalnya pemerintah ngeluarin BLT minyak goreng, itu tidak bisa mengurangi antrian, yang bisa itu barangnya dibanyakin di pasar dan harganya terjangkau,” tutur Heri.

Sebelumnya, pemerintah juga menggelontorkan subsidi minyak goreng sebesar Rp7,6 triliun, tetapi tidak banyak berpengaruh terhadap suplai di pasaran. Heri mengatakan subsidi tersebut tidak bakal banyak berpengaruh lantaran subsidi tetap.

“Apalagi subsidi ini tidak floating tapi fix, tetap sama. Artinya tiap hari sama. Padahal yang namanya biaya produksi bisa aja tiap hari, bulan berubah. Tergantung dari bahan baku dan lain lain. Artinya tidak menginsentif, makanya antrian panjang dimana-mana,” ujarnya.

Heri menjelaskan minyak kelapa sawit saat ini memang sedang tinggi harganya. Karena itu, dia meminta agar kebijakan pemerintah bisa menstimulus produsen untuk memasok minyak di dalam negeri.

“Nah PR-nya adalah bagaimana eksportir ini mau menjual harga minyak di dalam negeri dengan harga yang terjangkau di masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengungkapkan pihak swasta sebenarnya sudah enggan untuk memproduksi minyak goreng. Pasalnya, pangsa pasar internasional lebih bagus dibandingkan produksi minyak goreng yang hanya 4,8 juta ton per tahun di dalam negeri.

“Swasta juga sebenarnya malas [produksi minyak goreng], karena pasar ekspor bagus kesanalah. Apalagi dikasih subsidi, waduh,” kata Sahat kepada Bisnis, Rabu (20/4/2022).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini