Bisnis.com, JAKARTA – Peran aktif perbankan secara fundamental dibutuhkan dalam membidik pertumbuhan masa depan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, perbankan telah menyiapkan langkah strategis guna mendorong pembiayaan berkelanjutan di Indonesia.
Terkait hal tersebut, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank DBS Indonesia telah mengungkapkan komitmennya dalam mendorong implementasi keuangan berkelanjutan melalui sejumlah upaya.
General Manager Divisi Manajemen Risiko BNI, Rayendra Minarsa Goenawan, menuturkan bahwa bank sebagai lembaga yang memiliki fungsi intermediasi, memiliki peran aktif dalam mendorong penerapan keuangan berkelanjutan.
“Dalam hal ini, fungsi intermediasi perbankan diharapkan tidak hanya fokus pada sisi operasional, melainkan juga mampu mendorong perekonomian melalui industri yang dikelola,” ujarnya dalam webinar yang digelar Bisnis Indonesia, Rabu (20/4/2022).
Guna mendorong pembiayaan ke sektor berkelanjutan, BNI memiliki tiga kebijakan perkreditan dalam mendukung ESG atau environmental, social and corporate governance.
Pertama adalah pemetaan ulang portofolio pinjaman, di mana perseroan selektif terhadap sektor yang memiliki dampak tinggi terhadap lingkungan. Kedua, memitigasi aspek ESG terhadap proyek yang dibiayai oleh BNI.
Ketiga, penguatan end-to-end proses kredit, khususnya pada penetapan Industry Risk Appetite (IRA) ataupun Risk Acceptance Criteria (RAC) sesuai dengan kriteria keuangan berkelanjutan, serta Early Warning System Moody’s untuk segmen korporasi ditambahkan faktor ESG.
“ESG menjadi sesuatu poin yang sangat penting karena investor, lingkungan dan juga masyarakat perhatiannya semakin lama semakin lebih,” pungkasnya.
Rayendra menambahkan bahwa peran aktif BNI dalam mengimplementasikan green banking juga tecermin dari strategi ESG perseroan dengan 5 pilar berkelanjutan, yaitu BNI untuk Indonesia, pelanggan, lingkungan, komunitas, dan juga pegawai.
Secara terpisah, Bank DBS juga telah menyiapkan strategi jangka pendek dan menengah untuk mendorong pengembangan ekonomi hijau atau green economy oleh perbankan.
Managing Director IBG Sustainability DBS Group, Yulanda Chung, menuturkan bahwa krisis iklim adalah salah satu tantangan terbesar umat manusia. Oleh sebab itu, DBS Group terus berkutat dengan isu tersebut dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, lanjutnya, DBS juga telah menetapkan arahan yang jelas untuk pencapaian jangka pendek dan menengah. Langkah pertama adalah menangani intensitas karbon di portofolio DBS. Langkah kedua menumbuhkan keyakinan adanya lajur transisi bagi beragam industri.
Yulanda mengatakan DBS turut menerapkan skenario yang digunakan secara global, seperti oleh Network for Greening the Financial System (NGFS) atau International Energy Agency (IEA).
Ketiga, menetapkan menetapkan taksonomi yang membagi aktivitas keberlanjutan dan transisi berdasarkan sektornya. Hal ini tertuang dalam dokumen Sustainable and Transition Finance Framework and Taxonomy yang dimiliki DBS.
Langkah keempat adalah mengintegrasikan ESG ke dalam kerangka manajemen risiko dan perencanaan strategi. Kelima, kata Yulanda, DBS secara aktif mengurangi jejak karbon dalam operasional perusahaan, yang akan dikurangi sampai dengan emisi nol bersih pada tahun ini.
“Dalam menjaga komitmen tersebut, kami akan menambah pelaporan kami untuk berbagai pengukuran dalam beberapa waktu ke depan untuk secara transparan menginformasikan perkembangan kami kepada seluruh pemangku kepentingan,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel