Peremajaan Sawit Rakyat Terkendala Legalitas

Bisnis.com,30 Apr 2022, 09:04 WIB
Penulis: MG Noviarizal Fernandez
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Menko Perekonomian Darmin Nasution (kanan), Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (kedua kiri) dan Bupati Kabupaten Musi Banyuasin Dodi Reza Alex (kiri) berbincang di tengah perkebunan sawit usai peluncuran penanaman perdana program peremajaan kebun kelapa sawit di Desa Panca Tunggal, Sungai Lilin, Kabupaten Musi banyuasin, Sumatra Selatan, Jumat (13/10)./ANTARA-Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA - Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sampai saat ini masih terus digencarkan pemerintah. Namun, pelaksanaan PSR yang menjangkau kebun petani sangat sulit dan banyak kendala. 

Hal tersebut dikatakan Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan, Hendratmojo Bagus Hudoro. Menurut Hendratmojo, ada empat aspek permasalahan PSR yaitu legalitas lahan, dukungan stakeholder, minat pekebun, dan kelembagaan pekebun.

“Saat ini total luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare. Dari angka tadi, kurang lebih 6,94 juta hektare merupakan perkebunan sawit rakyat. Diperkirakan terdapat 2,8 juta hektare kebun sawit rakyat yang potensial untuk diremajakan,” ujar Hendratmojo dalam diskusi yang diselenggarakan Kementan, seperti dikutip Sabtu (30/4/2022). 

Dalam data yang dimiliki Kementan, dari 2,8 juta hektare yang punya potensi diremajakan, sebagian besar merupakan kebun plasma dan swadaya dengan luasan 2,29 juta hektare. Disusul kebun dari pola perusahaan inti rakyat perkebunan 0,14 juta hektare dan plasma PIR-TRANS/PIR-KKPA 0,37 juta hektare.

Sesuai arahan pemerintah, lanjut Hendratmojo, target utama segi peremajaan sawit adalah kebun yang dikelola oleh rakyat. Semenjak 2020, Program PSR ditargetkan dapat menjangkau 540 ribu hektare kebun sawit rakyat dan setiap tahunnya pemerintah menargetkan 180 ribu hektaree.

Namun seperti yang dikatakan Hendratmojo, banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Awal tahun 2020 saja, realisasi PSR tertinggi seluas 92.066 hektare, tapi memasuki 2021, angka pencapaian PSR malah turun secara signifikan menjadi 27.747 hektare. Penurunan ini harus menjadi catatan agar pencapaian tahun-tahun ke depan harus bisa mengakselerasi pelaksanaan PSR.

“Tantangan terberat PSR dari aspek legalitas lahan. Di lapangan masih ditemukan kebun belum punya sertifikat hak milik, lahan terindikasi masuk kawasan hutan, dan adanya tumpang tindih kebun rakyat dengan HGU dan hak tanah lainnya,” jelasnya.

Beratnya tantangan yang dihadapi berdampak kepada realisasi PSR, sehingga baru mencapai 1.582 hektare pada April 2022 ini. Salah satu upaya pemerintah mempermudah akses dan memperluas jangkauan PSR difasilitasi dengan terbitnya Permentan Nomor 03 Tahun 2022 tentang Pengembangan SDM, Litbang, Peremajaan, Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam Permentan itu, mekanisme pengusulan PSR dapat melalui dua jalur yaitu jalur dinas daerah kabupaten/kota dan jalur kemitraan. Bagus menjelaskan adanya jalur kemitraan membantu percepatan PSR. Melalui jalur ini, kelompok tani dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan perkebunan lalu diusulkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).  

Menurut Bagus, petani dan perusahaan dapat bekerjasama untuk mengkoordinasikan kelengkapan dokumen pengusulan PSR. Dokumen tersebut antara lain  kriteria perusahaan perkebunan, perjanjian kerjasama perusahaan dan kelembagaan pekebun, legalitas pekebun dan kelembagaan pekebun, serta legalitas dan status lahan.

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono mendukung jalur kemitraan dalam PSR sebagai upaya melibatkan perusahaan dalam program peremajaan sawit. Kemitraan antara perkebunan besar dengan petani sawit merupakan upaya strategis dalam rangka meningkatkan kinerja Industri sawit dengan mensinergikan kelebihan masing-masing pelaku usaha.

Dari 2016-2021, jumlah perusahaan sawit anggota GAPKI yang menjadi mitra PSR berjumlah 68 perusahaan yang menggandeng 147 kelompok tani. Diakui Mukti, masalah legalitas lahan kebun petani menyulitkan anggotanya untuk terlibat dalam PSR karena seringkali bersinggungan atau dilihat sebagai area hutan. 

Sementara itu, Sekjen DPP APKASINDO Rino Afriano menepis anggapan petani tidak berminat ikut program PSR. Pasalnya, petani generasi kedua memiliki ekspektasi tinggi terhadap kebun sawitnya. Mereka menginginkan produksi kebun yang lebih baik, nilai tambah tinggi, kepastian harga, dan legalitas lahan jelas.

Rino menguraikan tiga faktor yang mengakibatkan realisasi PSR turun. Faktor pertama adalah legalitas kebun petani yang diklaim berada di kawasan hutan dan juga diklaim tumpang tindih dengan HGU perusahaan.  Kedua, terkait dengan birokrasi yang rumit yang saat ini sedang diselesaikan Kementan melalui penyederhanaan syarat dan penerbitan regulasi yang mempermudah PSR. 

Faktor ketiga adalah petani dihadapkan kepada masalah hukum. Mereka harus dipanggil aparat penegak hukum seperti kejaksaaan dan kepolisian berkaitan penggunaan dana PSR. Rino sepakat dengan terbitnya jalur kemitraan dalam PSR diharapkan mampu meningkatkan realisasi PSR. Kuncinya adalah perjanjian kemitraan yang setara menjadi kunci sukses.

Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo mendukung pola kemitraaan dalam program PSR agar dapat mencapai target. Pelaksanaan pola kemitraan ini dapat terlaksana asalkan posisi petani dan perusahaan saling setara dan saling diuntungkan. Terkait soal legalitas kebun sawit rakyat, komisinya akan berdiskusi dengan Kementerian LHK. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Wahyu Arifin
Terkini