Sri Mulyani Beberkan Larangan Ekspor CPO Bikin Negara Kehilangan Pendapatan Rp6 Triliun per Bulan

Bisnis.com,19 Mei 2022, 16:20 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Antara/Makna Zaezar

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp6 triliun setiap bulannya akibat larangan ekspor crude palm oil atau CPO dan turunannya.

Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani usai Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Raker Banggar DPR) terkait persetujuan tambahan kebutuhan anggaran dalam merespons kenaikan harga komoditas. Raker berlangsung pada Kamis (19/5/2022).

Penerimaan dari ekspor CPO menjadi salah satu pembahasan setelah Sri Mulyani dan Banggar DPR mendiskusikan penambahan anggaran untuk merespons tingginya harga komoditas. Pemerintah mengajukan penambahan anggaran untuk subsidi energi, kemudian DPR buka suara terkait larangan ekspor CPO yang menghilangkan potensi penerimaan negara.

"Sekitar Rp6 triliun satu bulannya [potensi pendapatan yang hilang jika kebijakan larangan ekspor terus terjadi]," ujar Sri Mulyani pada Kamis (19/5/2022).

Dia pun menyatakan akan menyampaikan aspirasi dari sejumlah anggota DPR terkait CPO kepada menteri-menteri terkait dan kepada presiden. Pihaknya sendiri mengakui bahwa kebijakan larangan ekspor memang mengurangi penerimaan negara dari sejumlah aspek.

"Kami dari sisi Kementerian Keuangan sudah menyampaikan kalau CPO dan seluruh ekspor itu tetap dilakukan pelarangan setiap bulan berapa penerimaan kita turun dari pajak ekspor, pajak penghasilan [PPh], bea keluar, itu semuanya kami sampaikan laporannya sehingga termasuk tadi, ekspor kita kan menambah devisa, jadi seluruh kehilangan pendapatan itu kami sampaikan supaya bisa menjadi bahan untuk membuat keputusan," katanya.

Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar CPO dunia menuai untung dari tingginya harga komoditas tersebut. Namun, polemik pengelolaan minyak goreng di dalam negeri membuat pemrintah memberlakukan larangan ekspor—meskipun harga minyak goreng belum turun signifikan setelah larangan itu berlaku.

Di sisi lain, tingginya harga komoditas energi menyebabkan adanya selisih antara alokasi subsidi dengan biaya yang diperlukan. Pemerintah pun mengajukan tambahan anggaran subsidi energi Rp74,9 triliun, anggaran kompensasi energi Rp275 triliun, dan anggaran perlindungan sosial Rp18,6 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini