Industri Leasing Mulai Hindari Pinjaman Luar Negeri, Kenapa?

Bisnis.com,11 Jun 2022, 02:02 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno (kiri) berbincang dengan Chief Risk Officer Akseleran Elquino Simanjuntak di sela-sela diskusi Digital Economic Forum /Bisnis - Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA - Suntikan pendanaan dari luar negeri buat industri pembiayaan (multifinance/leasing) Tanah Air tengah dalam tren terkoreksi, seiring kecenderungan para pemain untuk menghindarinya, dan lebih mengandalkan pinjaman dari perbankan lokal.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkap bahwa para multifinance yang berencana menerima pinjaman dalam valuta asing, terutama dolar AS, sebenarnya telah bersiaga sejak tahun lalu.

Tepatnya ketika mulai muncul desas-desus Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) berencana menaikkan suku bunga acuan. Sebagai konteks, kebijakan kenaikan suku bunga ini akhirnya terealisasi pada awal Mei 2022 sebesar 50 basis poin (bps).

Inilah salah satu alasan kenapa jumlah pendanaan dari luar negeri yang diterima multifinance senilai Rp67,4 triliun tengah berada dalam tren terus menurun, seperti tergambar dalam statistik OJK per April 2022. Bahkan, nominal tersebut telah mencapai minus 21,6 persen (year-on-year/yoy) dari tahun lalu.

"Jadi bukan karena bank luar negeri yang tidak mau [memberikan pendanaan], justru kita yang lebih hati-hati kalau ambil pinjaman dolar. Karena pasti ada kekhawatiran kalau-kalau rupiah melemah, bayarnya gimana nanti?" ujarnya ketika dihubungi, Jumat (10/6/2022).

Namun, selain karena kehati-hatian para pemain itu sendiri, Suwandi juga mengungkap adanya kemungkinan entitas luar negeri mulai lebih memprioritaskan penyaluran kredit terkait green energy.

Sebaliknya, pendanaan ke sektor-sektor pertambangan, terutama batu bara, bertahap dikurangi. Padahal, sektor ini masih menjadi andalan pendongkrak piutang pembiayaan dari mayoritas pemain multifinance lokal.

Sementara itu, masih berdasarkan statistik OJK per April 2022, pendanaan yang diterima industri multifinance dari dalam negeri senilai Rp151,21 triliun tumbuh 14,1 persen secara tahunan. Terkhusus porsi pendanaan dari bank dalam negeri, nilainya Rp145,85 triliun, dan tercatat tumbuh 15,48 persen yoy dari tahun lalu.

Suwandi menjelaskan kendati nantinya bakal ada potensi kenaikan suku bunga perbankan dalam negeri yang bisa berdampak kepada naiknya biaya dana (cost of fund), industri multifinance telah siap mengantisipasinya.

Sebagai gambaran, walaupun belum ada kenaikan suku bunga acuan, Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk mengambil strategi kebijakan moneter berupa pengetatan likuiditas, tepatnya berupa peningkatan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap untuk bank umum konvensional maupun syariah.

GMW sendiri merupakan simpanan yang wajib ditempatkan oleh perbankan di BI. Otomatis, naiknya persentase GWM akan memangkas likuiditas bank, sehingga keleluasaan dalam menyalurkan kredit pun akan sedikit tertahan, termasuk penyaluran pinjaman kepada multifinance.

"Likuiditas perbankan masih tinggi, kepercayaan bank terhadap multifinance juga dalam tren terus menguat. Selain itu, permintaan pembiayaan ke multifinance terkait kendaraan maupun alat berat pun sedang tinggi. Jadi wajar kalau nantinya tren [pendanaan bank dalam negeri] ke kami akan terus meningkat," jelasnya.

Suwandi menjelaskan bahwa suku bunga yang dikenakan bank terhadap multifinance biasanya bersifat tetap, sama seperti bunga pembiayaan dari para pemain multifinance terhadap para debitur.

Oleh sebab itu, apabila ada kenaikan suku bunga bank, pemain multifinance biasanya baru akan menyesuaikan kenaikannya setelah beberapa bulan berselang, dan hanya dikenakan terhadap debitur baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Pandu Gumilar
Terkini