Bank di Indonesia Harus Mulai Selektif Pilih Debitur, Ini Alasannya

Bisnis.com,15 Jun 2022, 14:26 WIB
Penulis: Leo Dwi Jatmiko
Ilustrasi Bank. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikkan suku bunga The Fed diperkirakan memberi dampak cukup signifikan terhadap kinerja kredit perbankan. Bank diharapkan berhati-hati dalam menyalurkan dana ke sejumlah debitur dengan kriteria tertentu. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan jika kenaikan Fed Rate terlalu eksesif atau melampaui kebiasaan, misalnya 100 bps, pada semester II/2022, berpotensi berdampak pada debitur yang belum siap hadapi kenaikan suku bunga. 

Untuk diketahui, Fed Rate adalah suku bunga yang menjadi acuan penentuan suku bunga transaksi bank-bank di Amerika Serikat. Kebijakan ini kerap berpengaruh terhadap perekonomian di banyak negara. 

The Fed rencananya akan melakukan pertemuan sebanyak 5 kali pertemuan pada tahun ini, yaitu pada 14-15 Juni 2022, 26-27 Juli, 20-21 September, 1-2 November dan 13-14 Desember. 

Pada pertemuan tersebut, diperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan, yang berpotensi mengerek suku bunga di dalam negeri.

Bhima mengatakan kenaikkan suku bunga akan memberi dampak sangat besar terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki rasio debt to equity cenderung tinggi saat pandemi dan sensitif terhadap beban pembayaran bunga maupun kesulitan lakukan refinancing. 

“Dan kedua, pendapatan perusahaan masih tahap konsolidasi belum kembali ke pra-pandemi. Dua kriteria debitur itu harus sangat hati-hati dalam penyaluran pinjaman baru,” kata Bhima, Rabu (15/6/2022). 

Sementara itu mengenai kondisi penyaluran kredit pada April 2022 yang mulai pulih dan tumbuh 9,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), menurut Bhima, perlu dimanfaatkan oleh bank dengan mendorong lebih agresif penyaluran pinjaman ke sektor produktif. 

Penyaluran kredit tersebut tetap harus mempertimbangkan kehati-hatian khususnya saat menyalurkan kredit ke sektor usaha atau calon debitur yang rentan terimbas inflasi, kenaikan suku bunga dan eksposur dari risiko global. 

“Sejauh ini bank cukup selektif, dan restrukturisasi kredit sudah turun cukup besar jadi tinggal nasabah yang potensial harus diberi suntikan kredit mumpung suku bunga belum naik,” kata Bhima. 

Dia melanjutkan rebound pertumbuhan kredit merupakan hal yang positif, dan lebih baik lagi apabila bank tidak sekadar mengandalkan intermediasi ke sektor berbasis komoditas karena momen harga komoditas ekspor. 

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit perbankan pada kuartal April 2022 mencapai Rp5.981 triliun, tumbuh 9,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan kredit pada April 2022 juga berhasil rebound dari posisi April 2021 yang saat itu terkontraksi 2,28 persen. 

Dalam laporan Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemimpin Redaksi Media Massa Juni 2022, OJK menyampaikan pertumbuhan pada April 2022 lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit Maret 2022 yang sebesar 6,67 persen yoy. 

“Kredit perbankan Maret 2022 senilai Rp5.863 triliun, sedangkan April 2022  Rp5.981 triliun,” tulis OJK dalam laporannya. 

Peningkatan penyaluran kredit tersebut diikuti dengan penurunan rasio kredit bermasalah bersih atau non performing loan net/ NPL net pada April 2022 menjadi yang sebesar 0,83 persen, dari posisi April 2021 1,06 persen, dan NPL gross yang turun dari 3,22 persen pada April 2021 menjadi 3,00 persen pada April 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Muhammad Khadafi
Terkini