Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank memastikan memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi tingginya permintaan kredit pada tahun ini.
Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan total nilai pembiayaan yang disalurkan perbankan pada April 2022 mencapai Rp5.981 triliun, tumbuh 9,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan kredit pada April 2022 juga berhasil rebound dari posisi April 2021 yang saat itu terkontraksi 2,28 persen.
Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. atau BJBR Yuddy Renaldi mengatakan sejalan dengan laporan OJK, sampai dengan April 2022 penyaluran kredit di Bank BJB tumbuh 9,6 persen secara tahunan (year-on-year/yoy. Pertumbuhan tersebut tanpa catatan low base effect atau basis kinerja yang rendah pada tahun sebelumnya.
“Artinya di tahun lalu pun kami mencatatkan pertumbuhan,” kata Yuddy kepada Bisnis, Rabu (15/6/2022).
Yuddy menambahkan untuk mengantisipasi permintaan kredit di tengah bayang-bayang kenaikan suku bunga The Fed, BJB akan terus menjaga likuiditas. Saat ini likuiditas perseroan dalam kategori sangat cukup, sehingga dapat mengantisipasi permintaan kredit yang saat ini bertumbuh.
“LDR kami per april 78 persen, masih terdapat ruang yang cukup,” kata Yuddy.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. atau BNGA Lani Darmawan mengatakan sampai dengan April 2022, secara tahunan kredit perseroan tumbuh sekitar 8,5 persen secara konsolidasi.
Perseroan akan tetap fokus pada segmen ritel konsumer dan UMKM yang resiliensi atau memimiliki kemampuan adaptasi tinggi dan pulih dengan cepat.
“Melihat permintaan pada sektor ini masih bagus dan market share masih relatif tidak besar. Tetapi tentu saja faktor analisa kredit sebagai filter amat penting untuk tetap tumbuh dengan sehat,” kata Lani.
Per Maret 2022, CIMB Niaga juga tercatat memiliki likuiditas yang sangat longgar. LDR hanya bank sebesar 74,19 persen turun jauh dari posisi Maret 2021, yakni 83,69 persen.
BRI Atur Strategi Penyaluran Kredit Tahun Ini
Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. atau BBRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan untuk mendorong akselerasi kredit, saat ini kondisi likuiditas BRI dalam kondisi yang memadai dengan rasio pinjaman terhadap simpatan atau loan to deposit ratio (LDR) pada level sekitar 87 persen. Perseroan optimistis mampu menumbuhkan kredit pada kisaran 9–11 persen yoy hingga akhir 2022.
Dalam mencapai pertumbuhan kredit yang sehat dan berkualitas, kata Aestika, BRI menerapkan tiga strategi. Pertama, selective growth yaitu dengan berfokus pada sektor-sektor yang memiliki potensi yang kuat serta eksposur minimum terhadap gejolak tersebut.
“Misalnya seperti sektor pertanian, sektor industri bahan kimia, serta makanan dan minuman,” kata Aestika kepada Bisnis, Rabu (15/6/2022).
Selain itu, lanjutnya, BRI juga menerapkan strategi bisnis follow stimulus dengan memfokuskan pertumbuhan berdasarkan suntikan penguat dari pemerintah untuk penguatan pertumbuhan ekonomi domestik.
Strategi kedua adalah menjaga kualitas penyaluran kredit. BRI selektif dalam menentukan kelayakan nasabah restrukturisasi dengan mempertimbangkan kondisi dan potensi bisnis debitur, serta menerapkan soft landing strategy dengan terus membentuk cadangan yang cukup.
“Tujuannya untuk mengantisipasi terjadinya pemburukan kualitas kredit nasabah restrukturisasi,” kata Aestika.
Strategi terakhir, kata Aestika, adalah fokus pada pinjaman dengan yield yang tinggi, yaitu segmen mikro dan consumer loan.
Suku Bunga The Fed Berdampak ke Kinerja Bank
Kenaikkan suku bunga The Fed diperkirakan memberi dampak cukup signifikan terhadap kondisi kredit perbankan. Bank diharapkan berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sejumlah debitur dengan kriteria tertentu.
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan Fed Rate yang terlalu eksesifpada semester II/2022, berpotensi berdampak pada debitur yang belum siap menghadapi kenaikan suku bunga.
Bhima mengatakan kenaikkan suku bunga akan memberikan dampak sangat besar terutama bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki rasio debt to equity cenderung tinggi saat pandemi dan sensitif terhadap beban pembayaran bunga maupun kesulitan lakukan refinancing.
“Dan kedua, pendapatan perusahaan masih tahap konsolidasi belum kembali ke pra-pandemi. Dua kriteria debitur itu harus sangat hati-hati dalam penyaluran pinjaman baru,” kata Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel