Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Jahja Setiaatmadja, mengusulkan agar masa restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 dapat diperpanjang kembali.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diketahui telah memperpanjang periode restrukturisasi kredit perbankan sampai dengan Maret 2023. Namun, tekanan perekonomian saat ini menyisakan kekhawatiran terhadap prospek kinerja debitur.
Jahja mengatakan bahwa kalangan perbankan saat ini mengharapkan masa relaksasi tersebut dapat kembali diperpanjang. Namun, usulan untuk memperpanjang periode restrukturisasi akan sangat bergantung pada kebijakan pimpinan OJK yang baru.
“Apakah bisa ini [restrukturisasi] diperpanjang setahun lagi? Karena ibaratnya petinju kalau sudah kena gebuk sedikit untuk recovery butuh waktu. Biarpun dia sehat tetapi tetap perlu waktu untuk pemulihan,” ujarnya dalam Bisnis Indonesia Banking Outlook 2022, Rabu (22/6/2022).
Jahja melihat selama program restrukturisasi bergulir banyak nasabah yang terbantu oleh relaksasi tersebut. Akan tetapi, meningkatnya inflasi serta panasnya tensi geopolitik Rusia-Ukraina semakin membuat kondisi ekonomi saat ini ditandai oleh ketidakpastian.
“Itu sebabnya perbankan mengharapkan kebijakan relaksasi ini ditambah sedikit. Jadi, kami lebih lega bernafas untuk menghadapi situasi kalau memang tidak ada kasus yang seperti ini.”
Wakil Ketua Persatuan Bank Nasional (Perbanas) Tigor M. Siahaan juga menilai perpanjangan masa restrukturisasi kredit diperlukan oleh perbankan saat ini. Meskipun, tren kredit restrukturisasi mulai melandai seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, perbankan juga mulai menyeleksi kredit yang dapat terpulihkan atau kredit yang masuk dalam kategori macet. Hal ini pun membuat outstanding kredit restrukturisasi melalui pencadangan turun secara bertahap.
“Jumlah debitur yang memperoleh restrukturisasi juga mengalami penurunan yang menunjukkan peningkatan kemampuan membayar pinjaman,” tuturnya.
Namun, dia mengimbau agar proses restrukturisasi kredit tetap harus diwaspadai oleh perbankan. Pencadangan wajib dilakukan sebagai langkah antisipatif terhadap potensi memburuknya kredit restrukturisasi.
Sejauh ini OJK mencatat bahwa nilai restrukturisasi kredit dari debitur industri perbankan yang terdampak pandemi Covid-19 semakin turun. Sampai dengan April 2022, nilai kredit restrukturisasi Covid-19 menyisakan Rp606,39 triliun.
Nilai kredit restrukturisasi tersebut konsisten menurun tiap bulannya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi debitur makin kuat dan sanggup memenuhi kewajiban pembayaran. Sejumlah pelaku usaha bahkan mampu memulihkan bisnisnya melampaui kondisi sebelum pandemi.
Seiring dengan hal tersebut, arus kas dan kemampuan mereka dalam memenuhi kewajiban ke bank pun meningkat. Alhasil, kebutuhan terhadap restrukturisasi kredit kian berkurang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel