Bisnis.com, JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang digelar 22—23 Juni 2022 memutuskan menahan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di angka 3,5 persen.
Hal ini dilakukan meskipun Federal Reserve dan beberapa bank sentral dunia lainnya mulai berbondong-bondong meninggalkan era suku bunga rendah dan mengetatkan kebijakan moneternya seiring dengan laju inflasi yang meningkat.
Dengan keputusan ini, BI telah menahan suku bunga di level terendah sepanjang sejarah ini selama 17 bulan berturut-turut. Terakhir kali BI mengubah suku bunga acuan adalah pada 18 Februari 2021, dengan menurunkan BI7DRR dari sebelumnya 3,75 persen menjadi 3,5 persen.
BI punya beragam alasan untuk tak buru-buru menaikkan suku bunga acuan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat inflasi pada Mei 2022 masih dalam kisaran target, yakni 3,55 persen (year-on-year/YoY), sedangkan inflasi inti sebesar 3,6 persen.
Adapun, soal rupiah, sejauh ini ketahanannya juga tergolong baik. Secara year-to-date (YtD), rupiah merupakan mata uang terbaik keempat di Asia yakni dengan pelemahan 4 persen, jauh lebih unggul ketimbang Jepang (15,5 persen), Korea Selatan (8,3 persen), Filipina (6,4 persen), Thailand (6,1 persen), Myanmar (5,4 persen), dan China (5,2 persen).
Alhasil, langkah BI menahan suku bunga acuan membawa angin segar bagi dunia usaha. Apalagi, kini otoritas moneter memegang peranan penting dalam menopang perekonomian nasional lantaran manuver fiskal tak lagi leluasa akibat tuntutan konsolidasi pada tahun depan.
Wakil Ketua III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan keputusan BI itu selaras dengan asa pengusaha agar pemerintah mempertahankan daya beli masyarakat sembari menjaga momentum pemulihan ekonomi.
“Dengan demikian, kita bisa mempertahankan pemulihan ekonomi dan tidak terjebak dalam stagnasi ekonomi,” katanya kepada Bisnis, Kamis (23/6/2022).
Menurutnya, sejauh ini ekonomi memang telah membaik, tecermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2022 yang mencapai 5,01 persen. Alhasil, penarikan insentif pun layak untuk mulai dieksekusi.
Akan tetapi, Shinta menilai normalisasi kebijakan tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Artinya, stimulus moneter melalui suku bunga rendah tetap layak diberikan untuk mengimbangi penarikan insentif fiskal.
BI memang tidak menaikkan suku bunga, tetapi bukan berarti upaya meredam inflasi tak dilakukan. Salah satunya adalah dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan.
BI telah melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan GWM rupiah untuk bank umum konvensional dari 5 persen menjadi 6 persen pada 1 Juni 2022, kemudian menjadi sebesar 7,5 persen pada 1 Juli 2022 dan menjadi 9 persen per 1 September 2022.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengatakan saat ini, bank masih relatif banjir dana nasabah.
Akan tetapi, sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan GWM secara bertahap hingga 9 persen pada September 2022, hal itu akan berpengaruh ke likuiditas di pasar.
“Perkiraan saya likuiditas yang tersedot sekitar Rp350 triliun,” ujarnya.
Dalam paparan hasil RDG, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.
"BI terus mencermati risiko tekanan inflasi ke depan, termasuk ekspektasi inflasi dan dampaknya terhadap inflasi inti, dan akan menempuh langkah-langkah normalisasi kebijakan moneter lanjutan sesuai dengan data dan kondisi yang berkembang," ujarnya.
Kendati demikian, BI bukannya tutup mata dengan perkembangan terkini. Peluang menaikan suku bunga acuan tetap ada.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menambahkan bahwa BI siap seandainya harus menyesuaikan kebijakan dari sisi suku bunga apabila ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel