Bisnis.com, JAKARTA – Uji materi UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah kembali berlanjut di Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang kali ini, saksi ahli menilai adanya diskriminasi terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Dalam Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh PT BPRS Harta Insan Karimah Parahyangan ini, pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU tersebut membatasi BPRS untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sementara itu, Pasal 21 huruf d mengatur BPRS tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah secara mandiri. Melainkan hanya dapat dilakukan di rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Terkait hal itu, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, yang menjadi saksi ahli, mengatakan pelarangan operasional BPR dan BPRS dalam lalu lintas pembayaran, konsolidasi, akses terhadap permodalan, dan lainnya dinilai merupakan bentuk ketidakadilan dan diskriminatif.
Menurutnya, semua pelaku memiliki hak dan kewajiban setara, termasuk BPR dan BPR Syariah. Hal ini bertujuan agar sistem peredaran uang, baik penghimpunan maupun penyaluran dana, bisa lebih optimal dan semakin menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan dunia usaha.
“Potensi yang ada justru dijauhkan dari rakyat. Banyak lagi diskriminasi-diskriminasi yang terjadi yang jelas-jelas namanya bank, BPR Syariah, tetapi tidak boleh melakukan lalu lintas pembayaran,” ujar Faisal dalam persidangan, yang digelar Rabu (6/7).
Dia menuturkan bahwa sektor keuangan, khususnya perbankan, memiliki peran vital. Oleh sebab itu, Faisal menyatakan perbankan yang lemah dapat membuat gerak roda perekonomian melambat. Peningkatan inklusi keuangan juga dilakukan melalui penguatan peran bank.
Untuk itu, lanjutnya, peningkatan inklusi keuangan tidak bisa hanya bertumpu pada perbankan umum tetapi juga perlu mengoptimalkan potensi dari BPR dan BPRS.
“Kita harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Tidak bisa hanya mengandalkan perbankan umum saja, tetapi harus mengoptimalkan BPR dan BPRS. Di sinilah peran BPRS dan BPRS yang basisnya bank komunitas,” tuturnya.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, yang juga menjadi saksi ahli, mengatakan keikutsertaan BPRS dalam lalu lintas pembayaran secara terbatas diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha bank, dan memberikan jasa yang lebih murah bagi masyarakat.
“Pembatasan BPR dan BPRS untuk tidak melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran giral sudah berusia lebih dari 30 tahun. Adanya pelarangan ini yang memunculkan diskriminatif. Mungkin nantinya bukan dilarang, tetapi dibatasi dalam melakukan lalu lintas pembayaran,” pungkasnya.
Dalam sidang pendahuluan, April 2022, Ahmad Wakil Kamal selaku kuasa hukum Pemohon menyatakan pembatasan dan larangan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPRS tidak optimal memberikan pelayanan, terutama untuk para pelaku usaha mikro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel