Dia juga menilai banyaknya program pensiun di Indonesia dikhawatirkan akan memberatkan para pemberi kerja karena selain membayar iuran ke dana pensiun pemberi kerja [DPPK] juga harus menyetor ke program pensiun wajib di BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menurutnya dapat ditengahi dengan adanya harmonisasi jaminan pensiun.
"Karena ada banyak sekali, ada BPJS Ketenagakerjaan, kami ada DPPK PPIP, PPMP. Kalau pendiri tidak begitu dalam kondisi keuangan yang bagus, dia akan membayar iuran seperti apa, sehingga pendiri memutuskan tidak akan mengikutsertakan pegawainya ke dana pensiun, langsung masuk ke BPJS Ketenagakerjaan karena iuran bulanan memberatkan mereka di kemudian hari," katanya.
Program Pensiun Belum Rinci
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo mengatakan, perumusan ketentuan pengharmonisasian seluruh program pensiun belum terperinci karena DPR menantikan roadmap sistem jaminan sosial nasional terkait tindak lanjut pengalihan program layanan PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) mengamanatkan agar pengalihan program asuransi sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT Asabri (Persero), serta pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT Taspen (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan paling lambat 2029.
Namun, pada September 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial reviewnya telah mengeluarkan putusan yang membatalkan pengalihan program layanan dari Asabri dan Taspen tersebut ke BPJS Ketenagakerjaan.
"Seperti yang 2029 sudah jelas di UU BPJS, itu kan akhirnya masih dipermasalahkan. Mungkin kalau ada roadmap SJSN bagaimana penuangannya mungkin akan sangat mendukung, karena ini akan menyangkut roadmap itu," kata Andreas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel