Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Darmawan Junaidi menyatakan minat pembiayaan berkelanjutan di Indonesia semakin diminati, tecermin dari realisasi pembiayaannya mencapai Rp809,7 triliun.
“Kami di sektor keuangan melihat memang permintaan terhadap sustainable finance dan green financing sangat tinggi, terutama setelah kita menerima mandat sebagai Presidensi G20,” ujarnya dalam seminar Scaling up Green Finance in Indonesia, baru-baru ini.
Dia menuturkan, bahwa sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51 terkait keuangan berkelanjutan diluncurkan pada 2017, realisasi pembiayaan berkelanjutan nasional telah mencapai Rp809,7 triliun dengan pangsa mencapai 13,8 persen dari total kredit nasional.
Sementara itu, pembiayaan hijau tercatat mencapai Rp466,2 triliun. jumlah tersebut memiliki porsi sebesar 8 persen dari total kredit nasional. Adapun, Bank Mandiri sudah memberikan Rp209,8 triliun pembiayaan berkelanjutan atau 24,9 persen dari total kredit perseroan.
Darmawan mengatakan, bahwa kebutuhan pembiayaan hijau di Indonesia sangat tinggi. Sedikitnya, dibutuhkan anggaran per tahun sebesar Rp266,3 triliun untuk periode 2020 sampai dengan 2030, serta Rp37,9 triliun alokasi APBN per tahun untuk periode yang sama.
“Kebutuhan pembiayaan hijau di Indonesia sangat tinggi, kemudian kita juga butuh kemampuan dan keahlian untuk bisa underwrite proposal terhadap investasi baru untuk karbon kredit nasional,” kata Darmawan.
Perubahan iklim telah menjadi tantangan yang signifikan bagi perekonomian global. Swiss Re Institute memperkirakan ekonomi global akan kehilangan sekitar 18 persen dari PDB pada 2050, jika tidak ada tindakan mitigasi terhadap perubahan iklim pada 10 tahun mendatang.
Namun, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim membutuhkan mobilisasi keuangan berkelanjutan. Pembiayaan hijau juga masih menjadi tantangan, terutama bagi negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang.
Group CEO Standard Chartered Bank Bill Winters menyebut ada kesenjangan yang begitu dalam terkait pendanaan di negara berkembang. Kondisi ini pun dikhawatirkan dapat menghambat proses transisi berkelanjutan.
Bill menyampaikan laporan Just in Time yang dirilis Standard Chartered menunjukkan kesenjangan pendanaan di pasar negara berkembang mencapai US$95 triliun. Kesenjangan ini dinilai menjadi kendala dalam proses menuju target nol emisi.
Oleh sebab itu, Bill menyatakan bahwa negara-negara maju dianjurkan untuk membantu negara berkembang dalam hal pembiayaan yang dibutuhkan.
“Di sinilah perlunya sebuah kemitraan pembiayaan antara sektor publik dan swasta,” ungkap Bill.
Dia menegaskan, kemitraan publik dan swasta dalam skala besar perlu didorong untuk memobilisasi keuangan dan menyalurkan dana guna membiayai proyek transisi berkelanjutan di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, Bill menilai negara berkembang yang membiayai sendiri proses transisi akan berdampak pada pendapatan masyarakat. Tanpa adanya dukungan, kemiskinan masyarakat di pasar negara berkembang bisa meningkat sebesar US$2 triliun setiap tahunnya.
Meski demikian, Bill menilai ada peluang investasi sebesar US$83 triliun ke negara berkembang. Hal ini bisa dicapai melalui penetrasi peran keuangan campuran atau blended finance dalam meningkatkan investasi.
Blended finance adalah proses pembiayaan yang melibatkan pihak swasta dan industri jasa keuangan untuk mendukung proyek-proyek dalam pembangunan berkelanjutan dengan memadukan unsur keberlanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel