Harga CPO Bisa Merosot 20 Persen pada September 2022, Cek Prediksi Analis

Bisnis.com,19 Jul 2022, 14:24 WIB
Penulis: Farid Firdaus
Ilustrasi Refined, bleached, and deodorized (RBD) palm oil sebagai bahan baku minyak goreng/ The Edge Markets

Bisnis.com, JAKARTA – Dorab Mistry, pakar minyak sawit internasional sekaligus Direktur Godrej International Ltd., memprediksi harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) berpotensi melanjutkan pelemahan hingga jatuh lebih dari 20 persen menjadi 3.000 ringgit per ton pada September 2022.

Mengutip Bloomberg, Selasa (19/7/2022), pelemahan harga minyak sawit akan didorong oleh melonjaknya pasokan dari Indonesia. Menurutnya, persediaan di Indonesia telah membengkak menjadi 10 juta ton dan akan terus meningkat pada Agustus 2022 karena produksi yang tinggi, sebelum stabil di sekitar 9-10 juta ton pada September 2022.

“Mereka sesak dengan minyak sawit. Tongkang, kapal, semuanya digunakan untuk menyimpan minyak sawit. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah terlalu sedikit dan terlambat,” kata Mistry dalam wawancara Bloomberg TV.

Pada Mei 2022, Mistry dengan tepat memprediksi penurunan harga sebelumnya, dengan mengatakan bahwa Indonesia akan melonggarkan larangan ekspornya hanya masalah waktu.

Kemerosotan lebih lanjut dalam kelapa sawit dapat membantu meringankan inflasi pangan global, yang memuncak pada Mei-Juni 2022, menurut Mistry yang memiliki rekam jejak sebagai pedagang minyak sawit selama lebih dari empat dekade.

Pasar minyak sawit telah dikejutkan oleh perubahan kebijakan ekspor Indonesia. Pemerintah Indonesia memberlakukan larangan pengiriman pada akhir April 2022 yang dimaksudkan untuk mendinginkan lonjakan biaya minyak goreng domestik dan mengekang inflasi makanan. Tetapi penghentian tersebut berdampak kecil pada harga lokal dan malah menyebabkan tangki penyimpanan meluap.

Larangan itu dicabut tiga minggu kemudian dan diganti dengan kebijakan yang mengharuskan produsen untuk menjual beberapa output di dalam negeri, serta opsi untuk program akselerasi yang memungkinkan perusahaan membayar pajak khusus untuk mendapatkan kuota ekspor tambahan.

“Indonesia harus membayar kebodohan dan kesalahan pemerintahnya dalam memberlakukan larangan kelapa sawit.” kata Mistry, seraya menambahkan bahwa langkah itu bermaksud baik, tetapi memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan.

Menurut Mistry, Indonesia yang pada Sabtu (16/7/2022) mengatakan akan membebaskan pungutan ekspornya hingga akhir Agustus 2022, perlu memperpanjang pembebasan pajak itu lebih lama lagi. Indonesia juga dinilai harus menghapus kebijakan Kewajiban Pasar Domestik (DMO) dan menghapus pajak ekspor untuk berhasil meningkatkan ekspor dan memangkas stok.

Meski begitu, lanjut Mistry, masih ada enam hingga delapan bulan di Indonesia sebelum stok turun ke level normal 5-6 juta ton dan harga stabil. Itu berarti prospek minyak sawit tetap bearish untuk saat ini. Indeks acuan komoditas berjangka telah merosot 45 persen dari rekor penutupan pada akhir April 2022.

Dia menambahkan, harga minyak sawit tidak akan mencapai titik terendah sampai ada gencatan senjata di Ukraina dan pasokan produk seperti minyak bunga matahari, gandum dan jagung masuk ke pasar. Dia memprediksi harga minyak sawit bisa merosot ke 2.500-3.000 ringgit ketika perang berakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Farid Firdaus
Terkini