Wacana Hidupkan PPHN Lewat Konvensi Ketatanegaraan, Pakar Angkat Bicara

Bisnis.com,28 Jul 2022, 12:05 WIB
Penulis: John Andhi Oktaveri
Beberapa pakar hukum konstitusi menilai upaya menghidupkan PPHN melalui konvensi ketatanegaraan tidak bisa diterima secara keilmuan. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo inisiasi menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945 ./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Pakar hukum konstitusi Bivitri Susanti menilai upaya menghidupkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) melalui konvensi ketatanegaraan tidak bisa diterima secara keilmuan. 

Menurutnya, upaya penghadiran PPHN lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR sebagai hal yang mengada-ada.

"Itu ngaco secara keilmuan. Mengada-ada banget. Memang salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi, tapi konvensi artinya praktik yang berulang-ulang kayak pidato presiden 17 Agustus. Tapi kalau mengubah suatu substansi, materi, muatan konstitusi atau UU, tidak ada," ujarnya di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

Sebelumnya, rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama pimpinan fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945 sebagaimana inisiasi Ketua MPR Bambang Soesatyo. 

Kendati demikian, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN. Fraksi Golkar,  misalnya, menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR tersebut. 

"Rekomendasi Badan Pengkajian MPR adalah wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amandemen UUD 1945, yang oleh Badan Pengkajian MPR disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak," kata Ketua Fraksi Partai Golkar MPR, Idris Laena.

Bivitri menambahkan, konstitusi Indonesia memang sudah tidak lagi punya PPHN atau dulu disebut GBHN. Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, tidak ada haluan negara yang perlu diberikan kepada presiden karena presiden dipilih berdasarkan visi-misi.

"Saya juga orang yang tidak setuju. Karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Anang Zubaidy juga menilai tidak tepat upaya menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan.

"Hanya kalau pertanyaannya apakah PPHN itu bisa masuk sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan menurut saya tidak tepat. Karena dia tidak dilakukan berulang-ulang, terlebih lagi setelah MPR mengalami perubahan secara struktur maupun kewenangan pasca-amandemen UUD," ujarnya.

Dia menambahkan, konvensi ketatanegaraan sebenarnya hukum tidak tertulis. Walhasil, sesuatu dikatakan sebagai konvensi ketatanegaraan ketika ada perbuatan hukum yang berulang-ulang, dilakukan terus menerus, dan seolah-olah menjadi keharusan untuk dilakukan. 

Namun, Anang melihat praktik tersebut tidak mempunyai landasan hukum tertulis misalnya upacara ataupun pidato presiden pada sidang MPR. Oleh karena itu, menurutnya, PPHN tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianus Doni Tolok
Terkini