Bisnis.com, JAKARTA - Ramainya penerbitan surat utang dari sektor pembiayaan tampak mendapat respon positif dari para investor, terdorong tren terbatasnya instrumen investasi dengan imbal hasil tinggi di tengah kondisi terkini.
Analis Fixed Income Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Ahmad Nasrudin menjelaskan tingginya animo investor terhadap obligasi atau sukuk terbitan perusahaan multifinance terbilang wajar, menilik kondisi industri pembiayaan saat ini sedang berada dalam momentum pertumbuhan.
"Pemulihan ekonomi yang sedang berjalan, meningkatkan permintaan terhadap jasa pembiayaan secara umum. Bisnis mereka pun mulai meningkat, dan akhirnya membutuhkan sumber pendanaan, termasuk lewat surat utang," ujarnya kepada Bisnis, Senin (1/8/2022).
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika realisasi penerbitan surat utang oleh industri multifinance telah mencapai Rp15,65 triliun pada semester I/2022 atau tumbuh sekitar 81 persen (year-on-year/yoy) dari periode sama tahun sebelumnya, bahkan telah melebihi capaian sepanjang tahun periode 2020.
Ahmad melihat bahwa para pemain multifinance sebenarnya sedang dalam tren mudah mendapatkan sumber dana dari pinjaman bank. Namun, momentum untuk menggalang dana dengan cost of funds semurah mungkin dari berbagai sumber, turut menjadi pertimbangan para pemain.
Selain itu, animo investor untuk menyerap surat utang terbitan para pemain pun sedang tinggi-tingginya. Tak heran, perusahaan multifinance beramai-ramai memanfaatkan kesempatan ini, baik yang telah berpengalaman, maupun yang pemula dalam menerbitkan surat utang.
"Sebenarnya bukan hanya sektor pembiayaan. Secara umum pun surat utang korporasi akan lebih menarik daripada SBN [surat berharga negara] dalam kondisi pemulihan ekonomi seperti saat ini," ujarnya.
Ahmad menjelaskan bahwa di satu sisi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membuat kinerja bisnis dan keuangan perusahaan penerbit surat utang membaik, membawa profil risiko mereka pun menjadi lebih baik ketimbang sebelumnya.
Pasalnya, selama resesi seperti beberapa waktu lalu, investor kebanyakan memburu surat utang terbitan pemerintah karena ingin mengamankan portofolionya, seraya meninggalkan pasar saham dan surat utang korporasi karena tidak prospektif akibat tekanan kinerja.
"Oleh sebab itu, dalam siklus investasi, selama pemulihan ekonomi, investor biasanya akan memburu saham dan surat utang korporasi dan mulai beralih dari SBN. Keduanya akan memberikan pengembalian yang lebih tinggi, sering dengan perbaikan prospek kinerja bisnis dan keuangan dari masing-masing perusahaan," ujarnya.
Namun, di sisi lain, momentum untuk para pemain terbilang singkat, karena bank sentral biasanya akan cepat-cepat mengambil langkah-langkah pengetatan moneter, seperti menaikkan suku bunga untuk mengimbangi potensi lonjakan inflasi.
Oleh karenanya, bagi para pemain multifinance yang butuh menekan tingkat bunga serendah mungkin, mayoritas hanya bisa berharap dari surat utang dengan tenor jangka pendek. Karena permintaan meningkat, kupon yang dibayarkan cenderung lebih rendah.
Sebaliknya, tingkat bunga surat utang dengan tenor tiga tahun ke atas biasanya akan lebih tinggi ketimbang penawaran awal yang penerbit harapkan, karena hanya segelintir investor yang berani membelinya.
"Jadi lebih karena faktor permintaan. Investor lebih banyak meminta tenor jangka pendek, karena berisiko lebih rendah daripada tenor yang lebih panjang. Tenor jangka panjang lebih berisiko dan sensitif ketika suku bunga naik," jelas Ahmad.
Hal ini turut tergambar dari tren penerbitan surat utang beberapa waktu belakangan yang mayoritas terbit dalam tenor jangka pendek. Menurut Ahmad, kendati menerima pengembalian yang lebih rendah, investor memandang masih menarik dan sebanding dengan tingkat risikonya, ketimbang memegang tenor jangka panjang.
"Tampak bahwa multifinance juga masih takut menerbitkan tenor panjang, takut pasar tidak menyerap. Kita bisa lihat dalam tiga tahun terakhir, secara umum porsi penerbitan surat utang tenor satu tahun melebihi tenor lima tahun, yaitu 24,4 persen berbanding 22,7 persen di semester I/2022. Padahal, sebelum pandemi, tenor lima tahun lebih dominan, termasuk terbitan para multifinance," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel